Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Giliran Pabrik Elektronik Ditutup!

SETELAH di 2015 empat pabrik tekstil dan produk tekstil (TPT) ditutup dengan mem-PHK ribuan pekerjanya, kini giliran pabrik elektronik PT Panasonic Lighting di Cikarang (Jawa Barat) dan Pasuruan (Jawa Timur) serta PT Toshiba Indonesia di Cikarang menutup pabriknya dengan mem-PHK sekitar 2.500 pekerjanya. 

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dalam komperensi pers di Jakarta menjelaskan para pekerja yang di-PHK itu terdiri dari sekitar 1.700 anggota KSPI di Panasonic dan 970 anggota KSPI di PT Toshiba. Sebanyak 600—700 pekerja dari Panasonic Pasuruan di-PHK pada priode Desember 2015—Januari 2016. Sedang 900 sampai 1.000 pekerja Panasonic Cikarang di-PHK periode Januari—Maret 2016. (Kompas.com, 3/2) 

Di luar dua perusahaan elektronik raksasa itu, dua perusahaan elektronik asal Korea Selatan juga mengumumkan penutupan pabriknya, PT Samoin yang mem-PHK 1.200 pekerja dan PT Starlink yang mem-PHK 500 orang pekerja. 

Kedua perusahaan ini telah selesai berusaha di Indonesia pada Januari 2016. Tutupnya pabrik-pabrik elektronik ini karena pelambatan ekonomi global mengimbas pasar domestik. Tapi, melemahnya penjualan produk elektronik nasional di pasar domestik, seperti acap dikeluhkan mantan Menteri Perdagangan Rachmat Goebel, karena pasar dalam negeri telah dibanjiri barang seludupan—yang meski kualitas rendah harganya terjangkau masyarakat bawah yang daya belinya sedang merosot. 

Selain itu, beban dunia usaha terus bertambah terutama dengan ketentuan upah pekerja yang dipatok makin tinggi, terutama di kawasan industri Jabodetabek. Karena itu, ada pengusaha yang mengalihkan pabrik dengan investasi baru di pelosok, seperti Wonogiri, yang upah minimum kabupaten (UMK)-nya di bawah separuh dari kawasan Jabodetabek yang sudah di atas Rp3 juta. 

Pelemahan ekonomi domestik yang terpukul oleh merosotnya harga komoditas rakyat hingga ke tingkat terendah dewasa ini, terutama karet dan TBS sawit rakyat, juga menumpaskan daya beli masyarakat. Alih-alih membantu rakyat menaikkan daya beli, justru rakyat dibebani pungutan non-APBN setiap beli premium dan solar, serta pungutan 50 dolar AS per ton ekspor CPO yang risikonya dibebankan ke harga TBS petani sawit. 

Dengan daya beli rakyat yang terus ditumpas lewat berbagai kebijakan sepihak pemerintah membuat pungutan di luar APBN itu, bisa-bisa tinggal menunggu giliran saja berbagai industri nasional untuk pasar domestik yang bakal menutup usahanya. ***

0 komentar: