PENURUNAN suku bunga acuan BI 25 basis poin menjadi 7% dan giro wajib minimum (GWM) primer dalam rupiah menjadi 6,5%, Jumat (19/2/2016), menyulut harapan segera terwujudnya suku bunga kredit satu digit.
Saat ini rata-rata suku bunga kredit perbankan di Indonesia mencapai 12,87%. Ini tertinggi di ASEAN, dibanding Malaysia 6,85%, Filipina 6,86%, dan Thailand 7,10%.
"Kita sudah memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), tahun depan ikut Asia-Pasifik, kita harus tumbuh berkembang meningkatkan daya saing, kita lihat situasi, di ASEAN sekarang, bunga kredit paling tinggi di ASEAN itu Indonesia," ujar Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D Hadad (detikfinance, 19/2/2016).
Untuk mewujudkan suku bunga kredit satu digit itu, menurut Hadad, OJK akan mengeluarkan paket insentif bagi bank-bank yang mampu memperbaiki efisiensinya, baik di sisi overhead dan margin keuntungan maupun risk premium—berupa non-performance loan (NPL).
Paket insentif ini melengkapi kebijakan penurunan biaya dana akibat berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, BI, dan OJK, untuk meyakini bunga kredit turun.
Melalui insentif itu, tutur Hadad, perbankan didorong untuk menyesuaikan margin perbankan melalui berbagai efisiensi. Saat biaya dana bisa ditekan, salah satunya melalui pemangkasan bunga deposito, perbankan juga bisa menurunkan tingkat suku bunga kreditnya.
Usaha penurunan suku bunga kredit ke satu digit itu tentu ditunggu dunia usaha yang saat ini memikul bunga bank terberat di ASEAN. Namun, usaha tersebut tidaklah mudah. Reaksi dan tekanan pasar, salah satu yang bisa menghambat, memperlambat, maupun mempercepatnya.
Contohnya penurunan suku bunga acuan dan GWM Primer, Jumat lalu, direspons pasar dengan perkiraan akan berlanjutnya penurunan suku bunga acuan setiap triwulan sehingga kian mempersempit margin keuntungan bank, sore itu juga indeks sektor keuangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) anjlok seketika hingga 3,3% (Kompas.com, 19/2/2016).
Tampak, perlu penataan komprehensif atas berbagai dimensi dalam sistemnya, agar usaha menurunkan suku bunga kredit menjadi satu digit berproses secara sistemik. Artinya, bukan dengan pola cangkokan melalui subsidi bunga seperti pada KUR, sehingga secara prinsip sistem perbankan dan kebijakan pemerintah itu sebenarnya seiring lain jalan. Harus bisa diwujudkan seperti di negara ASEAN lainnya, suku bunga kredit satu digit itu sama sekali tanpa subsidi pemerintah. ***
"Kita sudah memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), tahun depan ikut Asia-Pasifik, kita harus tumbuh berkembang meningkatkan daya saing, kita lihat situasi, di ASEAN sekarang, bunga kredit paling tinggi di ASEAN itu Indonesia," ujar Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D Hadad (detikfinance, 19/2/2016).
Untuk mewujudkan suku bunga kredit satu digit itu, menurut Hadad, OJK akan mengeluarkan paket insentif bagi bank-bank yang mampu memperbaiki efisiensinya, baik di sisi overhead dan margin keuntungan maupun risk premium—berupa non-performance loan (NPL).
Paket insentif ini melengkapi kebijakan penurunan biaya dana akibat berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, BI, dan OJK, untuk meyakini bunga kredit turun.
Melalui insentif itu, tutur Hadad, perbankan didorong untuk menyesuaikan margin perbankan melalui berbagai efisiensi. Saat biaya dana bisa ditekan, salah satunya melalui pemangkasan bunga deposito, perbankan juga bisa menurunkan tingkat suku bunga kreditnya.
Usaha penurunan suku bunga kredit ke satu digit itu tentu ditunggu dunia usaha yang saat ini memikul bunga bank terberat di ASEAN. Namun, usaha tersebut tidaklah mudah. Reaksi dan tekanan pasar, salah satu yang bisa menghambat, memperlambat, maupun mempercepatnya.
Contohnya penurunan suku bunga acuan dan GWM Primer, Jumat lalu, direspons pasar dengan perkiraan akan berlanjutnya penurunan suku bunga acuan setiap triwulan sehingga kian mempersempit margin keuntungan bank, sore itu juga indeks sektor keuangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) anjlok seketika hingga 3,3% (Kompas.com, 19/2/2016).
Tampak, perlu penataan komprehensif atas berbagai dimensi dalam sistemnya, agar usaha menurunkan suku bunga kredit menjadi satu digit berproses secara sistemik. Artinya, bukan dengan pola cangkokan melalui subsidi bunga seperti pada KUR, sehingga secara prinsip sistem perbankan dan kebijakan pemerintah itu sebenarnya seiring lain jalan. Harus bisa diwujudkan seperti di negara ASEAN lainnya, suku bunga kredit satu digit itu sama sekali tanpa subsidi pemerintah. ***
0 komentar:
Posting Komentar