ANTIKLIMAKS! Harapan para penolak revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar Presiden Jokowi menjadi pahlawan pemberantasan korupsi dengan menolak revisi UU usul inisiatif DPR itu, berujung kecewa. Presiden Jokowi justru menyetujui revisi itu, juga materinya, hanya menunda pelaksanaan revisinya untuk sosialisasi dan tetap masuk Prolegnas 2016.
Kedua pihak, Presiden Jokowi dan pimpinan DPR, setelah bertemu di Istana Senin siang (22/2/2016) sependapat bahwa empat poin materi revisi UU tersebut merupakan penguatan terhadap KPK.
Empat poin revisi UU KPK dimaksud, pembentukan dewan pengawas terhadap KPK (jadi KPK tak lagi bekerja secara independen), kewenangan penyadapan dibatasi harus dengan izin dewan pengawas, KPK diberi kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), serta KPK tidak punya wewenang untuk merekrut penyelidik dan penyidiknya sendiri.
Keempat perubahan itu memicu penolakan publik terhadap revisi UU KPK. Keberadaan dewan pengawas yang memberi izin untuk penyadapan yang dilakukan KPK dianggap telah mengintervensi KPK yang seharusnya independen.
Meski demikian, Wakil Ketua DPR dari Gerindra, Fadli Zon, mengapresiasi Presiden Jokowi yang telah menunda revisi UU KPK. Keputusan itu sejalan dengan aspirasi publik. "Ini keputusan tepat, arus penolakan di masyarakat sudah kuat," kata Fadli Zon. (Kompas.com, 22/2/2016)
Fadli menuturkan revisi UU KPK tidak mungkin dilakukan karena suara di DPR masih berbeda dan derasnya penolakan publik. Penolakan tidak hanya datang dari pegiat antikorupsi, tetapi juga dari akademisi dan sejumlah guru besar dari berbagai universitas. "Dalam situasi seperti ini, sulit melakukan revisi UU KPK," ujar Fadli.
Dengan logika Fadli Zon itu juga bisa diduga, sebenarnya Jokowi mendengar semua penolakan revisi UU KPK. Namun, ia tidak bisa secara eksplisit menyampaikan penolakan terhadap revisi tersebut karena menjaga perasaan pimpinan DPR yang datang bersama ketua fraksi dan Komisi III yang membidangi hukum. Untuk itu, ia hanya berusaha mencapai kesepakatan dengan menundanya. Dengan begitu, kalangan DPR tidak tersinggung, sedang di sisi lain revisi tak bisa dilakukan.
Sangka baik ini tentu hanya berlaku sampai wakil pemerintah benar-benar duduk bersama DPR membahas revisi UU KPK, setelah meng-hyperbolic isu bahwa revisi UU KPK itu memperkuat, bukan melemahkan pemberantasan korupsi. Dan koruptor lega, KPK tak bisa asal sadap lagi.***
Empat poin revisi UU KPK dimaksud, pembentukan dewan pengawas terhadap KPK (jadi KPK tak lagi bekerja secara independen), kewenangan penyadapan dibatasi harus dengan izin dewan pengawas, KPK diberi kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), serta KPK tidak punya wewenang untuk merekrut penyelidik dan penyidiknya sendiri.
Keempat perubahan itu memicu penolakan publik terhadap revisi UU KPK. Keberadaan dewan pengawas yang memberi izin untuk penyadapan yang dilakukan KPK dianggap telah mengintervensi KPK yang seharusnya independen.
Meski demikian, Wakil Ketua DPR dari Gerindra, Fadli Zon, mengapresiasi Presiden Jokowi yang telah menunda revisi UU KPK. Keputusan itu sejalan dengan aspirasi publik. "Ini keputusan tepat, arus penolakan di masyarakat sudah kuat," kata Fadli Zon. (Kompas.com, 22/2/2016)
Fadli menuturkan revisi UU KPK tidak mungkin dilakukan karena suara di DPR masih berbeda dan derasnya penolakan publik. Penolakan tidak hanya datang dari pegiat antikorupsi, tetapi juga dari akademisi dan sejumlah guru besar dari berbagai universitas. "Dalam situasi seperti ini, sulit melakukan revisi UU KPK," ujar Fadli.
Dengan logika Fadli Zon itu juga bisa diduga, sebenarnya Jokowi mendengar semua penolakan revisi UU KPK. Namun, ia tidak bisa secara eksplisit menyampaikan penolakan terhadap revisi tersebut karena menjaga perasaan pimpinan DPR yang datang bersama ketua fraksi dan Komisi III yang membidangi hukum. Untuk itu, ia hanya berusaha mencapai kesepakatan dengan menundanya. Dengan begitu, kalangan DPR tidak tersinggung, sedang di sisi lain revisi tak bisa dilakukan.
Sangka baik ini tentu hanya berlaku sampai wakil pemerintah benar-benar duduk bersama DPR membahas revisi UU KPK, setelah meng-hyperbolic isu bahwa revisi UU KPK itu memperkuat, bukan melemahkan pemberantasan korupsi. Dan koruptor lega, KPK tak bisa asal sadap lagi.***
0 komentar:
Posting Komentar