DPR sejak Senin (1/2) mulai menggeber revisi UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari draf yang diserahkan F-PDIP ke Balegnas DPR, seperti dikutip detiknews (2/2), bisa disimak perubahannya merupakan pelemahan sistemik terhadap KPK.
Berikut draf revisi UU KPK dari detiknews:
Pasal 11: Ayat (1) huruf b, menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp25 miliar rupiah. Ayat (2), dalam hal tindak pidana korupsi yang tidak memenuhi syarat, seperti Ayat (1) huruf b menyerahkannya ke Polri atau Kejakgung.
Pasal 12A: Ayat (1) huruf a, penyadapan dilakukan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup; di huruf b, penyadapan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas. Penyadapan diatur detail pada Pasal 12 hingga huruf f. Padahal, penyadapan itu andalan KPK dalam menangkap koruptor.
Pasal 37: Dijabarkan hingga Pasal 37F mengenai Dewan Pengawas. Dewan ini mengawasi tugas dan wewenang KPK, serta menggelar sidang etik bila ada dugaan pelanggaran. Terdiri dari lima orang yang dipilih dan diangkat oleh presiden.
Pasal 40: KPK berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3). Pasal 43: Penyelidik KPK berasal dari Polri yang diperbantukan di KPK. Pasal 45: Penyidik KPK merupakan penyidik yang diperbantukan dari Polri, kejaksaan, dan PPNS. Berarti KPK tidak berhak merekrut sendiri penyelidik dan penyidik independen yang kapabilitasnya sesuai standar kebutuhan KPK. Dengan itu, KPK akan selalu bergantung pada penegak hukum lain dalam pengadaan ujung tombaknya.
Dengan batas kasus yang ditangani KPK pada kerugian negara di atas Rp25 miliar seperti di Pasal 11, praktis KPK akan lebih banyak kerja jadi pembantu polisi dan jaksa. Padahal, dalam penanganan korupsi, KPK lahir karena pada kepolisian dan kejaksaan tak bisa diandalkan menangani kasus korupsi. Jadi, pasal ini bukan hanya melemahkan KPK, melainkan juga melemahkan usaha bangsa memberantas korupsi.
Kemudian, Dewan Pengawas yang dipilih dan diangkat oleh presiden diberi kewenangan sangat luas dari yang bersifat teknis memberi izin tertulis penyadapan dengan syarat bukti awal yang cukup, hingga mengadili pimpinan KPK (untuk pelanggaran etik), bisa membuat KPK tidak independen lagi—salah-salah bisa di bawah kendali kepentingan presiden lewat mekanisme kekuasaan dewan pengawas.
Ini berbahaya karena KPK bisa dijadikan alat kekuasaan meringkus lawan politik penguasa! Apalagi KPK bisa membuat SP3, setelah puas lawan politik babak belur, di-SP3. ***
Pasal 40: KPK berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3). Pasal 43: Penyelidik KPK berasal dari Polri yang diperbantukan di KPK. Pasal 45: Penyidik KPK merupakan penyidik yang diperbantukan dari Polri, kejaksaan, dan PPNS. Berarti KPK tidak berhak merekrut sendiri penyelidik dan penyidik independen yang kapabilitasnya sesuai standar kebutuhan KPK. Dengan itu, KPK akan selalu bergantung pada penegak hukum lain dalam pengadaan ujung tombaknya.
Dengan batas kasus yang ditangani KPK pada kerugian negara di atas Rp25 miliar seperti di Pasal 11, praktis KPK akan lebih banyak kerja jadi pembantu polisi dan jaksa. Padahal, dalam penanganan korupsi, KPK lahir karena pada kepolisian dan kejaksaan tak bisa diandalkan menangani kasus korupsi. Jadi, pasal ini bukan hanya melemahkan KPK, melainkan juga melemahkan usaha bangsa memberantas korupsi.
Kemudian, Dewan Pengawas yang dipilih dan diangkat oleh presiden diberi kewenangan sangat luas dari yang bersifat teknis memberi izin tertulis penyadapan dengan syarat bukti awal yang cukup, hingga mengadili pimpinan KPK (untuk pelanggaran etik), bisa membuat KPK tidak independen lagi—salah-salah bisa di bawah kendali kepentingan presiden lewat mekanisme kekuasaan dewan pengawas.
Ini berbahaya karena KPK bisa dijadikan alat kekuasaan meringkus lawan politik penguasa! Apalagi KPK bisa membuat SP3, setelah puas lawan politik babak belur, di-SP3. ***
0 komentar:
Posting Komentar