KENAPA pemerintah, diekspresikan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Menko Polhukam Luhut Panjaitan bersama partai-partai berkuasa, ngotot untuk merevisi UU KPK? Yasonna Laoly bahkan yang pertama mengajukan revisi tersebut ke DPR, dan Luhut Panjaitan menjanjikan akhir tahun revisi itu selesai meski ditunda dalam waktu yang tak ditentukan oleh Presiden Jokowi dan DPR.
Salah satu kemungkinan yang bisa terjadi, karena dengan dibentuknya Dewan Pengawas yang orang-orangnya dipilih oleh presiden, KPK terkooptasi di bawah kekuasaan orang-orang pilihan presiden tersebut. Selanjutnya, dengan mudah atau bahkan dengan sendirinya KPK bisa dijadikan alat kekuasaan.
Bayangkan kalau untuk menyadap telepon KPK harus mendapat izin Dewan Pengawas. Tak sukar ditebak, orang-orang dalam stelsel kekuasaan bisa lolos dari jerat KPK, sekaligus lolos dari operasi tangkap tangan sebagai lanjutan penyadapan.
Sebaliknya, orang-orang di luar stelsel kekuasaan, apalagi tergolong “lawan politik” atau “pengkritik” penguasa, kalau diincar bisa saja diringkus dengan bukti-bukti yang kurang.
Terpenting “dihajar” dulu, kalau alat bukti kuat tak berhasil didapat, bisa dilepas lagi dengan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) seperti Novel Baswedan, atau mungkin juga nanti Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Maka itu, kewenangan KPK menerbitkan SP3 menjadi paket revisi UU KPK.
Tekad pemerintah dan partai berkuasa untuk menguasai kendali atas KPK tampaknya tak bisa ditawar lagi, sehingga penalaran yang rasional menolak revisi KPK disebut salah tafsir, sehingga alasan penundaan hanya untuk sosialisasi tafsir penguasa. Tekad penguasa untuk mengontrol KPK dan menjadikannya alat kekuasaan itu sekuat kehendak pemerintah menguasai PSSI, yang tak mau tahu statuta FIFA yang berlaku di seluruh dunia perserikatan sepak bola nasional independen dari kekuasaan pemerintah, tapi di Indonesia dipaksakan terus sampai dikucilkan dari sepak bola dunia, dan mungkin Asian Games 2018 di Indonesia tanpa sepak bola.
Suksesnya penguasa mengooptasi KPK nanti akan menjadikan pemberantasan korupsi oleh KPK ikut tebang pilih atau mandul, seperti yang sebelumnya terjadi pada dua aparat hukum di bawah presiden, polisi dan jaksa, sehingga menurut sejarahnya, memicu kelahiran KPK.
Gelagat seperti itu yang membuat Forum Rektor dengan sejumlah guru besar langsung ke Istana menyampaikan petisi menolak revisi UU KPK, justru setelah revisinya dinyatakan ditunda. ***
Bayangkan kalau untuk menyadap telepon KPK harus mendapat izin Dewan Pengawas. Tak sukar ditebak, orang-orang dalam stelsel kekuasaan bisa lolos dari jerat KPK, sekaligus lolos dari operasi tangkap tangan sebagai lanjutan penyadapan.
Sebaliknya, orang-orang di luar stelsel kekuasaan, apalagi tergolong “lawan politik” atau “pengkritik” penguasa, kalau diincar bisa saja diringkus dengan bukti-bukti yang kurang.
Terpenting “dihajar” dulu, kalau alat bukti kuat tak berhasil didapat, bisa dilepas lagi dengan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) seperti Novel Baswedan, atau mungkin juga nanti Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Maka itu, kewenangan KPK menerbitkan SP3 menjadi paket revisi UU KPK.
Tekad pemerintah dan partai berkuasa untuk menguasai kendali atas KPK tampaknya tak bisa ditawar lagi, sehingga penalaran yang rasional menolak revisi KPK disebut salah tafsir, sehingga alasan penundaan hanya untuk sosialisasi tafsir penguasa. Tekad penguasa untuk mengontrol KPK dan menjadikannya alat kekuasaan itu sekuat kehendak pemerintah menguasai PSSI, yang tak mau tahu statuta FIFA yang berlaku di seluruh dunia perserikatan sepak bola nasional independen dari kekuasaan pemerintah, tapi di Indonesia dipaksakan terus sampai dikucilkan dari sepak bola dunia, dan mungkin Asian Games 2018 di Indonesia tanpa sepak bola.
Suksesnya penguasa mengooptasi KPK nanti akan menjadikan pemberantasan korupsi oleh KPK ikut tebang pilih atau mandul, seperti yang sebelumnya terjadi pada dua aparat hukum di bawah presiden, polisi dan jaksa, sehingga menurut sejarahnya, memicu kelahiran KPK.
Gelagat seperti itu yang membuat Forum Rektor dengan sejumlah guru besar langsung ke Istana menyampaikan petisi menolak revisi UU KPK, justru setelah revisinya dinyatakan ditunda. ***
0 komentar:
Posting Komentar