DI Ipoh, ibu kota Kesultanan Perak, kami rombongan dari Lampung dijamu hidangan rendang lokal, yang dimasak sampai hitam, kering, dan padat, persis rendang restoran Asmara Murni di Siantar, pada 1960-an. Itu makanan sehari-hari rakyat negeri jiran sehingga konsumsi daging sapi Malaysia mencapai 47 kg per kapita per tahun.
Konsumsi itu jauh lebih tinggi dari Indonesia, yang hari ini masih 2 kg per kapita per tahun. Apa rahasianya sampai perbedaan konsumsi daging sapi kedua negara begitu tajam?
Rahasia perbedaan konsumsi itu dibuka oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR, Rabu (8/6/2016). Rahasianya tidak lain, harga daging sapi yang kini di Indonesia di atas Rp100 ribu/kg, di Malaysia masih menjual daging sapi dengan harga Rp56.117/kg. (detikfinance, 8/6/2016)
Kenapa bisa beda sampai dua kali lipat begitu. Kemungkinannya pada perbedaan cara berpikir dalam berbisnis antara orang Malaysia dan Indonesia. Sumber sapi bakalannya sama dari Australia, dengan harga timbang hidup 3,4 dolar AS/kg atau Rp45 ribu/kg.
Perbedaannya pada cara berpikir, di Malaysia harga timbang hidupnya tetap, sedangkan biaya penggemukan (pakan, obat, dan perawatan) serta skala untung-ruginya dihitung dari tambahan bobot sapinya. Artinya, dengan biaya untuk tambahan 1 kg berat sapi di bawah Rp45 ribu, menjadi keuntungan usaha penggemukan.
Jadi, harga produksi daging sapi tetap Rp45 ribu/kg ketika seekor bakalan yang semula 100 kg, setelah dipelihara beberapa bulan beratnya jadi 500 kg. Untungnya dihitung dari tambahan bobot sapi 400 kg itu. Kalau di pasar daging sapi dijual Rp56.117/kg, berarti rumah potong dan pedagang dapat bagian 25%.
Beda cara berpikir di Indonesia. Dengan modal sapi bakalan Rp45 ribu/kg timbang hidup, biaya penggemukannya dimasukkan jadi tambahan biaya produksi ke harga dagingnya. Oleh sebab itu, kalau biaya produksi Rp45 ribu per 1 kg tambahan bobot sapi, ditambahkan ke modal sapi bakalan Rp45 ribu/kg, jadi Rp90 ribu/kg timbang hidup.
Sehingga, kalau sapi bakalan dari bobot 100 kg, setelah jadi 500 kg harga timbang hidupnya jadi 500 kali Rp90 ribu. Harga daging sapi di Indonesia jadi dua kali lipat dari di Malaysia.
Kalau ditanya cara berpikir mana yang betul, jawabnya secara syariah tentu cara berpikir orang Malaysia yang betul. Namun, secara kapitalis, cari keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya yang sekecil-kecilnya, cara berpikir orang Indonesia juga betul.
Pemerintah semestinya yang menetapkan, adilnya pakai cara berpikir yang mana. ***
Rahasia perbedaan konsumsi itu dibuka oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR, Rabu (8/6/2016). Rahasianya tidak lain, harga daging sapi yang kini di Indonesia di atas Rp100 ribu/kg, di Malaysia masih menjual daging sapi dengan harga Rp56.117/kg. (detikfinance, 8/6/2016)
Kenapa bisa beda sampai dua kali lipat begitu. Kemungkinannya pada perbedaan cara berpikir dalam berbisnis antara orang Malaysia dan Indonesia. Sumber sapi bakalannya sama dari Australia, dengan harga timbang hidup 3,4 dolar AS/kg atau Rp45 ribu/kg.
Perbedaannya pada cara berpikir, di Malaysia harga timbang hidupnya tetap, sedangkan biaya penggemukan (pakan, obat, dan perawatan) serta skala untung-ruginya dihitung dari tambahan bobot sapinya. Artinya, dengan biaya untuk tambahan 1 kg berat sapi di bawah Rp45 ribu, menjadi keuntungan usaha penggemukan.
Jadi, harga produksi daging sapi tetap Rp45 ribu/kg ketika seekor bakalan yang semula 100 kg, setelah dipelihara beberapa bulan beratnya jadi 500 kg. Untungnya dihitung dari tambahan bobot sapi 400 kg itu. Kalau di pasar daging sapi dijual Rp56.117/kg, berarti rumah potong dan pedagang dapat bagian 25%.
Beda cara berpikir di Indonesia. Dengan modal sapi bakalan Rp45 ribu/kg timbang hidup, biaya penggemukannya dimasukkan jadi tambahan biaya produksi ke harga dagingnya. Oleh sebab itu, kalau biaya produksi Rp45 ribu per 1 kg tambahan bobot sapi, ditambahkan ke modal sapi bakalan Rp45 ribu/kg, jadi Rp90 ribu/kg timbang hidup.
Sehingga, kalau sapi bakalan dari bobot 100 kg, setelah jadi 500 kg harga timbang hidupnya jadi 500 kali Rp90 ribu. Harga daging sapi di Indonesia jadi dua kali lipat dari di Malaysia.
Kalau ditanya cara berpikir mana yang betul, jawabnya secara syariah tentu cara berpikir orang Malaysia yang betul. Namun, secara kapitalis, cari keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya yang sekecil-kecilnya, cara berpikir orang Indonesia juga betul.
Pemerintah semestinya yang menetapkan, adilnya pakai cara berpikir yang mana. ***
0 komentar:
Posting Komentar