REAKTUALISASI nilai-nilai Pancasila menjadi keharusan. Sebab, menurut refleksi mantan Presiden BJ Habibie, pada 1 Juni 2011, saat reformasi terjadi penolakan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan Orde Baru. Hal itu menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (Republika.co.id, 1/6/2011/2016)
Harus diakui, tegas Habibie, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur, dan masif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tidak sepaham dengan pemerintah sebagai tidak pancasilais atau anti-Pancasila.
Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran yang digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era reformasi, muncullah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggap sebagai simbol, ikon, dan instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah.
Pengaitan Pancasila dengan rezim tertentu, menurut Habibie, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan, atau orde tertentu. Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai perjalanannya.
Oleh karena Pancasila tidak terkait dengan sebuah era pemerintahan, Pancasila seharusnya terus-menerus diaktualisasikan dan menjadi jati diri bangsa yang akan mengilhami setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan dari waktu ke waktu. Tanpa aktualisasi nilai-nilai dasar negara, kita akan kehilangan arah perjalanan bangsa dalam memasuki era globalisasi yang kian kompleks dan rumit.
Reaktualisasi Pancasila makin menemukan relevansinya di tengah menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok, dan kekerasan mengatasnamakan agama, juga gejala munculnya kembali kekuatan komunis lewat rangkaian kegiatan maupun penyebaran atributnya di tengah masyarakat.
Namun, dalam reaktualisasi itu perlu dijaga bersama agar terhindar dari kecenderungan menjadikan Pancasila sebagai ornamen kekuasaan semata sehingga memutar sejarah kembali ke masa lalu yang kelam. ***
Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran yang digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era reformasi, muncullah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggap sebagai simbol, ikon, dan instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah.
Pengaitan Pancasila dengan rezim tertentu, menurut Habibie, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan, atau orde tertentu. Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai perjalanannya.
Oleh karena Pancasila tidak terkait dengan sebuah era pemerintahan, Pancasila seharusnya terus-menerus diaktualisasikan dan menjadi jati diri bangsa yang akan mengilhami setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan dari waktu ke waktu. Tanpa aktualisasi nilai-nilai dasar negara, kita akan kehilangan arah perjalanan bangsa dalam memasuki era globalisasi yang kian kompleks dan rumit.
Reaktualisasi Pancasila makin menemukan relevansinya di tengah menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok, dan kekerasan mengatasnamakan agama, juga gejala munculnya kembali kekuatan komunis lewat rangkaian kegiatan maupun penyebaran atributnya di tengah masyarakat.
Namun, dalam reaktualisasi itu perlu dijaga bersama agar terhindar dari kecenderungan menjadikan Pancasila sebagai ornamen kekuasaan semata sehingga memutar sejarah kembali ke masa lalu yang kelam. ***
0 komentar:
Posting Komentar