PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) menggelar rapat terbatas di atas KRI Imam Bonjol 383 di Perairan Natuna, Kepulauan Riau, Kamis (23/6/2016), dihadiri sejumlah menteri dan pejabat tinggi. Presiden mengarahkan agar wilayah Natuna dan sekitarnya dikembangkan untuk perikanan dan migas.
Usai rapat, Menlu Retno Marsudi mengatakan Menteri ESDM Sudirman Said dalam rapat itu memaparkan di sekitar Natuna terdapat sekitar 16 blok migas, 5 blok sudah beroperasi, dan 11 blok sedang eksplorasi.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memaparkan pembangunan sentra kelautan dan perikanan terpadu. Panglima TNI juga memaparkan pengembangan pertahanan di wilayah Natuna dan sekitarnya. (detiknews, 23/6/2016)
Kehadiran Jokowi di Natuna terkesan sebagai respons atas insiden di kawasan Natuna 17 Juni 2016 saat KRI Imam Bonjol menangkap kapal nelayan Tiongkok di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Penangkapan itu diprotes Pemerintah Tiongkok yang menyebut nelayan itu mencari ikan di wilayah pemancingan tradisional Tiongkok. Insiden ini kali yang kesekian terjadi di kawasan tersebut.
Menanggapi hal itu, pakar hukum internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, dikutip MetroTV, Kamis (23/6/2016), menyatakan untuk menjaga kedaulatan RI di kawasan itu tak cukup dengan patroli TNI AL dan kapal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk menangkapi nelayan asing yang melaut di situ. Tapi, seharusnya juga mendorong nelayan Indonesia untuk menangkap ikan ke ZEE perairan Natuna.
Senada dengan itu, Jokowi meminta kepada instansi terkait agar mendorong enam ribuan kapal nelayan dari Laut Jawa agar menangkap ikan ke perairan Natuna, yang banyak ikannya karena jarang ditangkap.
Namun, bisa dipahami jika nelayan dari Laut Jawa selama ini tidak menangkap ikan ke kawasan Natuna, karena jaraknya yang amat jauh hingga membutuhkan banyak bahan bakar (solar) untuk menjangkaunya. Padahal, harga solar relatif mahal. Untuk beroperasi di kawasan yang dekat saja pun biayanya termasuk beban yang berat bagi nelayan.
Untuk itu, pilihan KKP membangun sentra kelautan dan perikanan terpadu, yang menghadirkan investor (terutama BUMN) untuk membangun pemrosesan produk ekspor ikan tangkap dengan armada modern maupun ikan budi daya berskala besar mungkin lebih tepat. Dengan realisasi rencana itu, ZEE dan perairan Natuna akan diramaikan armada kapal ikan kita, penjagaan kedaulatan pun berlangsung efektif dan ekonomis. ***
Usai rapat, Menlu Retno Marsudi mengatakan Menteri ESDM Sudirman Said dalam rapat itu memaparkan di sekitar Natuna terdapat sekitar 16 blok migas, 5 blok sudah beroperasi, dan 11 blok sedang eksplorasi.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memaparkan pembangunan sentra kelautan dan perikanan terpadu. Panglima TNI juga memaparkan pengembangan pertahanan di wilayah Natuna dan sekitarnya. (detiknews, 23/6/2016)
Kehadiran Jokowi di Natuna terkesan sebagai respons atas insiden di kawasan Natuna 17 Juni 2016 saat KRI Imam Bonjol menangkap kapal nelayan Tiongkok di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Penangkapan itu diprotes Pemerintah Tiongkok yang menyebut nelayan itu mencari ikan di wilayah pemancingan tradisional Tiongkok. Insiden ini kali yang kesekian terjadi di kawasan tersebut.
Menanggapi hal itu, pakar hukum internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, dikutip MetroTV, Kamis (23/6/2016), menyatakan untuk menjaga kedaulatan RI di kawasan itu tak cukup dengan patroli TNI AL dan kapal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk menangkapi nelayan asing yang melaut di situ. Tapi, seharusnya juga mendorong nelayan Indonesia untuk menangkap ikan ke ZEE perairan Natuna.
Senada dengan itu, Jokowi meminta kepada instansi terkait agar mendorong enam ribuan kapal nelayan dari Laut Jawa agar menangkap ikan ke perairan Natuna, yang banyak ikannya karena jarang ditangkap.
Namun, bisa dipahami jika nelayan dari Laut Jawa selama ini tidak menangkap ikan ke kawasan Natuna, karena jaraknya yang amat jauh hingga membutuhkan banyak bahan bakar (solar) untuk menjangkaunya. Padahal, harga solar relatif mahal. Untuk beroperasi di kawasan yang dekat saja pun biayanya termasuk beban yang berat bagi nelayan.
Untuk itu, pilihan KKP membangun sentra kelautan dan perikanan terpadu, yang menghadirkan investor (terutama BUMN) untuk membangun pemrosesan produk ekspor ikan tangkap dengan armada modern maupun ikan budi daya berskala besar mungkin lebih tepat. Dengan realisasi rencana itu, ZEE dan perairan Natuna akan diramaikan armada kapal ikan kita, penjagaan kedaulatan pun berlangsung efektif dan ekonomis. ***
0 komentar:
Posting Komentar