AFP, kantor berita Prancis, Sabtu (25/6/2016) melaporkan setidaknya dana sebesar 2,1 triliun dolar AS (sekitar Rp28.350 triliun atau 14 kali APBN RI 2016) kabur dari bursa saham akibat investor mengkhawatirkan dampak buruk Brexit (keluarnya Inggris dari Uni Eropa) terhadap perekonomian global.
Investor mengalihkan dananya ke instrumen investasi yang dinilai lebih aman seperti emas, mata uang yen, dan obligasi blue chip. Dengan advantage itu, harga emas mencatat kenaikan 5%, mata uang yen Jepang melonjak 4,2% terhadap dolar AS dan 7 persen terhadap euro.
Pounsterling anjlok 10% terhadap dolar AS, sedangkan euro melemah 2,6% terhadap dolar AS.
Di sisi lain, indeks bursa utama dunia merosot tajam. Dow Jones (New york) turun 3,39%, Nikkei (Tokyo) turun 7,92%, FTSE (London) turun 3,15%, DAX (Frankfurt) turun 6,82%, BEL (Brussels) turun 6,4%, dan CAC (Paris) turun 8,04%. (Kompas.com, 25/6/2016)
Penguatan yen Jepang cukup fenomenal di balik hasil referendum Brexit ini. Untuk kali pertama sejak November 2013 mata uang dolar AS diperdagangkan di bawah 100 yen. Tapi kenapa mata uang yen Jepang, selain emas dan obligasi blue chip yang konservatif, jadi alternatif investasi di kegalauan Brexit? Kenapa bukan yuan Tiongkok yang didukung cadangan devisa lebih 3,5,triliun dolar AS?
Mungkin, karena yen paling ringan beban likuiditasnya, satu-satunya mata uang di dunia yang didukung dengan suku bunga acuan minus, 0,25%. Sedang suku bunga acuan yuan jauh lebih tinggi, 4,35%. Suku bunga acuan dolar AS 0,25-0,50, euro 0,50, pounsterling 1%, mata uang lain lebih tinggi dari itu. Suku bunga acuan rupiah, 6,5%.
Bahkan, dibanding emas dan obligasi blue chip, mata uang yen masih punya keunggulan, yaitu sifatnya yang lebih liquid. Selain itu yen juga didukung budaya masyarakat Jepang yang tidak konsumtif, sehingga nilai mata uangnya tidak rentan inflasi.
Sebaliknya, budaya masyarakatnya itu cenderung membuat yen deflatif. Itulah alasan penerapan suku bunga acuan minus agar masyarakat menarik uangnya dari bank dan membelanjakannya ke pasar.
Namun, kegalauan Brexit itu sebenarnya menjadi peluang bagi emerging market seperti Indonesia, untuk menyedot dana yang keluar dari bursa-bursa saham utama dunia mengalir ke negerinya. Tentu harus disimak saksama dahulu ke bidang mana aliran dana tersebut difokuskan, sebagai kompensasi bursa saham yang masih mereka hindari. Kalau bisa diarahkan ke industri di sektor riil, alangkah jauh lebih baik. ***
Pounsterling anjlok 10% terhadap dolar AS, sedangkan euro melemah 2,6% terhadap dolar AS.
Di sisi lain, indeks bursa utama dunia merosot tajam. Dow Jones (New york) turun 3,39%, Nikkei (Tokyo) turun 7,92%, FTSE (London) turun 3,15%, DAX (Frankfurt) turun 6,82%, BEL (Brussels) turun 6,4%, dan CAC (Paris) turun 8,04%. (Kompas.com, 25/6/2016)
Penguatan yen Jepang cukup fenomenal di balik hasil referendum Brexit ini. Untuk kali pertama sejak November 2013 mata uang dolar AS diperdagangkan di bawah 100 yen. Tapi kenapa mata uang yen Jepang, selain emas dan obligasi blue chip yang konservatif, jadi alternatif investasi di kegalauan Brexit? Kenapa bukan yuan Tiongkok yang didukung cadangan devisa lebih 3,5,triliun dolar AS?
Mungkin, karena yen paling ringan beban likuiditasnya, satu-satunya mata uang di dunia yang didukung dengan suku bunga acuan minus, 0,25%. Sedang suku bunga acuan yuan jauh lebih tinggi, 4,35%. Suku bunga acuan dolar AS 0,25-0,50, euro 0,50, pounsterling 1%, mata uang lain lebih tinggi dari itu. Suku bunga acuan rupiah, 6,5%.
Bahkan, dibanding emas dan obligasi blue chip, mata uang yen masih punya keunggulan, yaitu sifatnya yang lebih liquid. Selain itu yen juga didukung budaya masyarakat Jepang yang tidak konsumtif, sehingga nilai mata uangnya tidak rentan inflasi.
Sebaliknya, budaya masyarakatnya itu cenderung membuat yen deflatif. Itulah alasan penerapan suku bunga acuan minus agar masyarakat menarik uangnya dari bank dan membelanjakannya ke pasar.
Namun, kegalauan Brexit itu sebenarnya menjadi peluang bagi emerging market seperti Indonesia, untuk menyedot dana yang keluar dari bursa-bursa saham utama dunia mengalir ke negerinya. Tentu harus disimak saksama dahulu ke bidang mana aliran dana tersebut difokuskan, sebagai kompensasi bursa saham yang masih mereka hindari. Kalau bisa diarahkan ke industri di sektor riil, alangkah jauh lebih baik. ***
0 komentar:
Posting Komentar