HARGA bahan pokok pangan selalu melonjak tak terkendali pada saat-saat tertentu akibat salah tingkah kalangan penguasa yang dipicu fobia terhadap impor pangan. Dengan fobia itu impor bahan pangan selalu ditekan dengan retorika mimpi swasembada justru saat permintaan naik sehingga harganya melonjak.
Seperti tahun lalu, impor jagung disetop total secara mendadak dengan alasan sudah swasembada, bahkan juga sudah ekspor. Ratusan ribu ton jagung impor tertahan di pelabuhan, kapal, dan gudang pengirim.
Akibatnya, kekurangan suplai jagung ke peternakan memicu harga ayam potong naik signifikan, dari Rp20 ribuan/kg jadi Rp30 ribuan/kg. Dihitung ulang, ternyata untuk 2016 ini saja, menurut Kementerian Perindustrian, kita kekurangan jagung untuk pakan ternak yang harus diimpor sebanyak 2,4 juta ton.
Sebelumnya daging sapi melonjak dari Rp40 ribu/kg ke Rp100 ribu/kg akibat pembatasan 50% impor sapi bakalan, diganti sapi lokal. Tapi karena dasarnya sapi lokal belum cukup, akibatnya induk sapi bunting pun dipotong. Krisis daging sapi malah jadi parah.
Fobia impor pangan itu dilampiaskan lewat retorika (mimpi) swasembada, padahal di sisi lain kekurangan dari kebutuhan kita besar sekali. Gula, misalnya, pada 2015 lalu sampai Oktober kita impor 2,88 juta ton. (ptpn-x.co.id, 30/11/2015) Kedelai, kekurangan tahun lalu sampai Juli impor 1,5 juta ton. (detikfinance, 4/7/2015) Lalu garam, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, 80% dari kebutuhan garam kita masih diimpor (Kompas.com, 12/6/2016)
Jadi, untuk membuat harga bahan pangan pokok stabil termasuk di hari-hari besar seperti Ramadan dan Idulfitri, hal pertama yang harus dihilangkan adalah salah tingkah penguasa akibat fobia impor itu. Seperti Singapura, tak punya apa-apa pun tapi penguasanya tenang karena semua kebutuhan bisa diimpor, maka harga segalanya di sana stabil. Tanpa banyak cing-cong!
Artinya, untuk menyembuhkan alergi fobia impor itu, lintas departemen duduk bersama, menghitung dengan betul kebutuhan bahan pangan pokok nasional, berapa besar produksi domestik dan berapa yang harus diimpor. Semua diproses secara wajar, tak perlu ditonjolkan retorika swasembada jika memang belum waktunya.
Jangan pula dihambat prosesnya seperti impor jagung, daging, bawang merah dan sebagainya, yang malah membuat harganya melonjak.
Lonjakan harga juga terjadi akibat kementerian dan lembaga lebih ngotot adu data, ketimbang cepat menutupi kekurangan pasokan! ***
Akibatnya, kekurangan suplai jagung ke peternakan memicu harga ayam potong naik signifikan, dari Rp20 ribuan/kg jadi Rp30 ribuan/kg. Dihitung ulang, ternyata untuk 2016 ini saja, menurut Kementerian Perindustrian, kita kekurangan jagung untuk pakan ternak yang harus diimpor sebanyak 2,4 juta ton.
Sebelumnya daging sapi melonjak dari Rp40 ribu/kg ke Rp100 ribu/kg akibat pembatasan 50% impor sapi bakalan, diganti sapi lokal. Tapi karena dasarnya sapi lokal belum cukup, akibatnya induk sapi bunting pun dipotong. Krisis daging sapi malah jadi parah.
Fobia impor pangan itu dilampiaskan lewat retorika (mimpi) swasembada, padahal di sisi lain kekurangan dari kebutuhan kita besar sekali. Gula, misalnya, pada 2015 lalu sampai Oktober kita impor 2,88 juta ton. (ptpn-x.co.id, 30/11/2015) Kedelai, kekurangan tahun lalu sampai Juli impor 1,5 juta ton. (detikfinance, 4/7/2015) Lalu garam, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, 80% dari kebutuhan garam kita masih diimpor (Kompas.com, 12/6/2016)
Jadi, untuk membuat harga bahan pangan pokok stabil termasuk di hari-hari besar seperti Ramadan dan Idulfitri, hal pertama yang harus dihilangkan adalah salah tingkah penguasa akibat fobia impor itu. Seperti Singapura, tak punya apa-apa pun tapi penguasanya tenang karena semua kebutuhan bisa diimpor, maka harga segalanya di sana stabil. Tanpa banyak cing-cong!
Artinya, untuk menyembuhkan alergi fobia impor itu, lintas departemen duduk bersama, menghitung dengan betul kebutuhan bahan pangan pokok nasional, berapa besar produksi domestik dan berapa yang harus diimpor. Semua diproses secara wajar, tak perlu ditonjolkan retorika swasembada jika memang belum waktunya.
Jangan pula dihambat prosesnya seperti impor jagung, daging, bawang merah dan sebagainya, yang malah membuat harganya melonjak.
Lonjakan harga juga terjadi akibat kementerian dan lembaga lebih ngotot adu data, ketimbang cepat menutupi kekurangan pasokan! ***
0 komentar:
Posting Komentar