Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Pancasila sebagai Refleks Budaya!

KETIKA proses menjiwaragakan telah berhasil membuat nilai-nilai Pancasila membiologis, Pancasila menjadi refleks (reaksi spontan) budaya masyarakat. Sebagai refleks budaya itu, nilai-nilai Pancasila yang mendarah daging menjadi sensor respons yang peka, seperti orang yang mengharamkan daging babi langsung muntah ketika mencium bau minyak babi dari penggorengan restoran yang ia lalui.

Saat kondisi seperti itu telah menjadi realitas sosio-psikologis masyarakat, politikus korup yang menjadikan Pancasila hanya sebagai alat politik kekuasaan, retorikanya akan tercium oleh rakyat seperti bau penggorengan minyak babi yang membuat rakyat muntah. Jualan politik busuk tidak laku lagi, sehingga politikus seperti itu dengan sendirinya tersingkir dari arena demokrasi yang telah hidup sehat. 

Suatu realitas kondisi sosio-psikologis seperti itu tidaklah utopis. Seperti isu SARA jika dieksploitasi bisa menyulut sentimen negatif, sekarang pun Pancasila bisa menyulut sentimen yang meledak-ledak jika disulut dengan isu komunisme. Bedanya, jika konteks SARA yang disulut sentimen negatif, Pancasila menyulut sentimen positif. Tapi, aktualisasinya sama, sentimen positif dan sentimen negatif sama-sama siap mengorbankan jiwa-raga. Contoh sentimen positif kerelaan berkorban dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa. 

Beda sentimen negatif dan positif hanya pada sifatnya. Sentimen negatif seperti SARA bersifat sempit, bahkan picik, hanya untuk kepentingan terbatas (suku, agama, ras, dan golongan) dengan mengingkari persatuan dan kesatuan bangsa. Sedang sentimen positif holistik mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa di atas semua kepentingan sempit dan picik terkait SARA. 

Jadi, proses penjiwaragaan Pancasila hingga membiologis salah satunya dengan mengganti isi “tabung afeksi” sentimen negatif SARA dengan sentimen positif Pancasila. Itu lewat diskusi di media sosial dengan menampilkan berbagai isu penyulut sentimennya, selain munculnya atribut komunisme, juga penyulut kekinian yang menyengsarakan rakyat, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). 

Selain itu, menekan tindakan berbau SARA hingga tindakan berbau SARA itu terasa kian aneh oleh masyarakat. Dengan demikian, sentimen negatif SARA tereliminasi dari tabung afektif justru oleh tindakan-tindakan berbau SARA itu sendiri. Seiring berbagai proses itu, Pancasila tumbuh sebagai refleks budaya masyarakat menyulut sentimen positif dengan mengeliminasi berbagai sentimen negatif. ***

0 komentar: