SURAT Presiden ke DPR menolak RUU Pertembakauan inisiatif DPR hilang misterius. Surat itu bertanggal 17 Maret 2017 No. R-16/Pres/03/2017 dipastikan oleh Menkumham Yasonna Laoly, diperkuat Wapres Jusuf Kalla, telah dikirimkan ke DPR. Namun, Wakil Ketua DPR Fadli Zon, diperkuat Sekjen DPR Achmad Djuned, hingga Rabu (29/3/2017) mengaku belum menerima surat tersebut.
Ke mana raibnya surat tersebut? Wallahualam. Tapi, kehilangan surat penting menjadi gejala baru. Sebelum hilangnya surat Presiden ke DPR itu, lebih dahulu heboh hilangnya sejumlah berkas sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK). Apakah penghilangan dokumen menjadi modus baru bagi yang ingin mencapai tujuan tertentu? Entahlah.
Dalam proses pengajuan RUU di DPR ada ketentuan batas waktu suatu. Andai tidak ada keberatan sampai batas waktu tertentu, suatu RUU bisa dianggap telah disetujui. Celakanya, surat presiden tersebut merupakan balasan atas penyampaian RUU Pertembakauan oleh Wakil Ketua DPR melalui Surat No. LG/00993/DPR-RI/I/2017 tanggal 19 Januari 2017.
Kalau tidak ada jawaban sampai 60 hari, berarti pemerintah setuju pada RUU tersebut. Padahal, sebenarnya melalui surat yang hilang itu pemerintah menolak dan meminta agar DPR menarik RUU inisiatifnya itu. Bagaimana andai sampai waktunya habis tidak ketahuan bahwa surat itu hilang misterius?
"Tapi kan DPR merasa sudah mereka kirim dan jangka waktu mengadakan rapat untuk itu kan tidak sempat lagi," ujar Yasonna di Kompleks Istana Presiden, Selasa (21/3/2017) (detiknews, 29/3/2017).
Wapres Jusuf Kalla menambahkan surat Presiden tersebut berisi penolakan pemerintah untuk pembahasan RUU Pertembakauan. "Itu surat untuk membicarakan bagaimana pemerintah tidak setuju, bukan pemerintah setuju. Karena sudah diajukan DPR, pemerintah sebaiknya kan menanggapinya," kata JK di sela-sela kunjungan di Bangkok, Thailand, Rabu (22/3/2017).
Bagaimana lanjutan kasus ini juga kasus sejumlah berkas sengketa pilkada yang hilang di MK, masih ditunggu. Tapi, peristiwa ini pantas mendapat catatan tersendiri tentang perlunya lebih tertib lagi sistem administrasi kenegaraan dan pemerintahan kita. Masa surat presiden penolakan RUU dan berkas sengketa pilkada bisa raib begitu saja! Jangan sampai pencurian atau penghilangan dokumen menjadi modus mencapai tujuan dalam kehidupan bernegara bangsa.
Sebagai pengalaman buruk, kedua peristiwa diharapkan tidak terulang di instansi dan kasus lain. Jangan terperosok di lubang yang sama berkali-kali. ***
Selanjutnya.....
Dalam proses pengajuan RUU di DPR ada ketentuan batas waktu suatu. Andai tidak ada keberatan sampai batas waktu tertentu, suatu RUU bisa dianggap telah disetujui. Celakanya, surat presiden tersebut merupakan balasan atas penyampaian RUU Pertembakauan oleh Wakil Ketua DPR melalui Surat No. LG/00993/DPR-RI/I/2017 tanggal 19 Januari 2017.
Kalau tidak ada jawaban sampai 60 hari, berarti pemerintah setuju pada RUU tersebut. Padahal, sebenarnya melalui surat yang hilang itu pemerintah menolak dan meminta agar DPR menarik RUU inisiatifnya itu. Bagaimana andai sampai waktunya habis tidak ketahuan bahwa surat itu hilang misterius?
"Tapi kan DPR merasa sudah mereka kirim dan jangka waktu mengadakan rapat untuk itu kan tidak sempat lagi," ujar Yasonna di Kompleks Istana Presiden, Selasa (21/3/2017) (detiknews, 29/3/2017).
Wapres Jusuf Kalla menambahkan surat Presiden tersebut berisi penolakan pemerintah untuk pembahasan RUU Pertembakauan. "Itu surat untuk membicarakan bagaimana pemerintah tidak setuju, bukan pemerintah setuju. Karena sudah diajukan DPR, pemerintah sebaiknya kan menanggapinya," kata JK di sela-sela kunjungan di Bangkok, Thailand, Rabu (22/3/2017).
Bagaimana lanjutan kasus ini juga kasus sejumlah berkas sengketa pilkada yang hilang di MK, masih ditunggu. Tapi, peristiwa ini pantas mendapat catatan tersendiri tentang perlunya lebih tertib lagi sistem administrasi kenegaraan dan pemerintahan kita. Masa surat presiden penolakan RUU dan berkas sengketa pilkada bisa raib begitu saja! Jangan sampai pencurian atau penghilangan dokumen menjadi modus mencapai tujuan dalam kehidupan bernegara bangsa.
Sebagai pengalaman buruk, kedua peristiwa diharapkan tidak terulang di instansi dan kasus lain. Jangan terperosok di lubang yang sama berkali-kali. ***