MENTERI Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan saat ini pemerintah tengah menyusun aturan mengenai ceramah di rumah ibadah. Dengan aturan itu diharapkan ada standardisasi cara berceramah di rumah ibadah yang sepatutnya dilakukan.
Hal itu Lukman sampaikan di Kongres Nasional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jakarta, Kamis. "Intinya adalah bagaimana ada pedoman bersama berceramah di rumah-rumah ibadah.” (Kompas.com, 16/3/2017)
Lukman berharap aturan yang sedang dipersiapkan ini tidak hanya mengikat bagi penceramah atau pengelola rumah ibadahnya. Namun, masyarakat secara keseluruhan diharapkan punya persepsi yang sama apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan ketika berceramah di rumah ibadah. Aturan itu tidak hanya berlaku untuk satu agama tertentu, tetapi juga seluruh agama.
Menteri mengakui aturan ini dibuat karena adanya sejumlah orang atau kelompok yang menggunakan rumah ibadah untuk alat politik. Ada pula kelompok yang menebar kebencian lewat unsur suku, agama, ras, dan antargolongan.
"Jadi supaya rumah ibadah betul-betul kita jaga kesakralannya, dan jangan sampai rumah ibadah menjadi tempat yang justru menimbulkan konflik atau berpotensi munculnya konflik di tengah masyarakat kita yang beragam," ujarnya.
Dengan alasan yang telah dikemukakan itu, jelas terlihat regulasi tersebut untuk mengatasi kecenderungan negatif yang sempat menggejala dalam masyarakat. Regulasi itu demi ketenteraman masyarakat beribadah dan mengeliminasi konflik.
Namun, keluarnya regulasi yang mengatur harus seperti apa orang berceramah, jangan begini atau jangan begitu, sehingga seorang pengkhotbah bukan hanya mengacu rukun ibadah, melainkan juga aturan pemerintah, secara nyata mencerminkan kemunduran dalam toleransi beragama, baik pada internal umat seagama maupun eksternal antarumat beragama.
Lebih mundur lagi kalau regulasi itu disusun dalam bentuk undang-undang sehingga isinya mengandung sanksi pidana. Akibatnya, suatu kesalahan seorang penceramah atau pengkhotbah bukan saja berisiko dosa yang ditanggung di akhirat kelak, melainkan juga bisa dipenjara.
Oleh karena itu, jauh lebih baik jika semua pihak menyadari ketelanjuran dalam mengeksploitasi rumah ibadah untuk kepentingan politik. Lalu, secara saksama menghormati dan kembali menyakralkannya, mensterilkan rumah ibadah dari tindakan lancung politik atau kepentingan sempit duniawi lainnya.
Atau nafsu politik umat sudah terlalu buruk sehingga regulasi itu tak terbendung lagi. ***
Lukman berharap aturan yang sedang dipersiapkan ini tidak hanya mengikat bagi penceramah atau pengelola rumah ibadahnya. Namun, masyarakat secara keseluruhan diharapkan punya persepsi yang sama apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan ketika berceramah di rumah ibadah. Aturan itu tidak hanya berlaku untuk satu agama tertentu, tetapi juga seluruh agama.
Menteri mengakui aturan ini dibuat karena adanya sejumlah orang atau kelompok yang menggunakan rumah ibadah untuk alat politik. Ada pula kelompok yang menebar kebencian lewat unsur suku, agama, ras, dan antargolongan.
"Jadi supaya rumah ibadah betul-betul kita jaga kesakralannya, dan jangan sampai rumah ibadah menjadi tempat yang justru menimbulkan konflik atau berpotensi munculnya konflik di tengah masyarakat kita yang beragam," ujarnya.
Dengan alasan yang telah dikemukakan itu, jelas terlihat regulasi tersebut untuk mengatasi kecenderungan negatif yang sempat menggejala dalam masyarakat. Regulasi itu demi ketenteraman masyarakat beribadah dan mengeliminasi konflik.
Namun, keluarnya regulasi yang mengatur harus seperti apa orang berceramah, jangan begini atau jangan begitu, sehingga seorang pengkhotbah bukan hanya mengacu rukun ibadah, melainkan juga aturan pemerintah, secara nyata mencerminkan kemunduran dalam toleransi beragama, baik pada internal umat seagama maupun eksternal antarumat beragama.
Lebih mundur lagi kalau regulasi itu disusun dalam bentuk undang-undang sehingga isinya mengandung sanksi pidana. Akibatnya, suatu kesalahan seorang penceramah atau pengkhotbah bukan saja berisiko dosa yang ditanggung di akhirat kelak, melainkan juga bisa dipenjara.
Oleh karena itu, jauh lebih baik jika semua pihak menyadari ketelanjuran dalam mengeksploitasi rumah ibadah untuk kepentingan politik. Lalu, secara saksama menghormati dan kembali menyakralkannya, mensterilkan rumah ibadah dari tindakan lancung politik atau kepentingan sempit duniawi lainnya.
Atau nafsu politik umat sudah terlalu buruk sehingga regulasi itu tak terbendung lagi. ***
0 komentar:
Posting Komentar