Barus, Titik Nol Islam Nusantara!
PRESIDEN Joko Widodo, Jumat (24/3), meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban
Islam Nusantara di Barus, Tapanuli Tengah, Sumut. Peresmian ini bagian
dari acara Silaturahmi Nasional Jam'iyah Batak Muslim Indonesia 24—25
Maret 2017 di Mandailing Natal. (Antara, 24/3).
Penetapan Barus sebagai titik nol peradaban Islam Nusantara, menurut antropolog Aceh, Teuku Kemal Fasya, yang juga Dewan Pakar Nahdlatul Ulama Aceh (Kompas, 23/3) tepat pada dimensi Islam sufisme, tanpa mengecilkan Singkil (120 km utara Barus, di pantai Aceh perbatasan Sumut).
Barus dan Singkil, menurut Kemal Fasya, menjadi tempat bersemainya gagasan tasawuf, terutama tarekat Syattariyah. Tasawuf sebagai ilmu agama batin menjadi katalisator berkembangnya Islam toleran, inklusif, dan progresif—ciri Islam Nusantara. Berkembangnya tradisi zikir dan suluk di Nusantara sangat dipengaruhi pemikiran sufisme dari Barus dan Singkil.
Dengan penekanan Islam Nusantara sedemikian, dari pandangan Kemal Fasya bisa dipahami sejalan dengan realitas fakta-fakta yang menjadi komitmen para ahli sejarah selama ini bahwa Islam arus utama yang berporos pada fikih mazhab Syafi'iyah pertama masuk Indonesia lewat Kerajaan Pasai, di pantai timur Aceh.
Meski Barus dan Pasai tidak bisa dipisahkan. Karya-karya tokoh tasawuf, seperti Syarab al-Asyikin, Mir'atul Thulab, Tarjuman Mustafid, atau Umdat al-Muhatajin Suluk Maslak al-Mufridin dituliskan dalam bahasa Melayu beraksara Arab yang diserupakan dengan bahasa Pasai.
Di Barus dan Singkil dua hal berkembang secara bersamaan, yaitu filsafat Islam wujudiyah dan kesusasteraan Melayu. Tokoh utama sejarah Melayu dari Barus adalah Hamzah al-Fansuri yang diperkirakan lahir 1570-an dan meninggal pada 1630-an. Fansur sendiri berarti “kapur barus”. Dulunya Barus masuk wilayah Kerajaan Aceh. Pemikir besar lain lahir di Singkil, Syekh Abdurrauf as-Singkili (1615—1693).
Berabad-abad sebelum Masehi, Barus telah menjadi kota perdagangan kapur barus (kamper), kemenyan, cendana, emas, yang dikenal di Timur Jauh, Eropa, dan Afrika Utara, puncaknya Abad ke-10. Agama Islam dibawa pedagang India, Arab, dan Tiongkok. Makam ulama di Papan Tenggi berpenaggalan abad ke-13, masa ini justru ditengarai Barus mulai sepi perdagangan, tapi bangkit sebagai pusat peradaban dan sastra Melayu.
Pengembangan Islam Nusantara tidak bisa dilepaskan dari kesusasteraan Melayu Pasai pada abad ke-13 hingga ke-14, puncaknya berkibar di Barus abad-abad selanjutnya. ***
Penetapan Barus sebagai titik nol peradaban Islam Nusantara, menurut antropolog Aceh, Teuku Kemal Fasya, yang juga Dewan Pakar Nahdlatul Ulama Aceh (Kompas, 23/3) tepat pada dimensi Islam sufisme, tanpa mengecilkan Singkil (120 km utara Barus, di pantai Aceh perbatasan Sumut).
Barus dan Singkil, menurut Kemal Fasya, menjadi tempat bersemainya gagasan tasawuf, terutama tarekat Syattariyah. Tasawuf sebagai ilmu agama batin menjadi katalisator berkembangnya Islam toleran, inklusif, dan progresif—ciri Islam Nusantara. Berkembangnya tradisi zikir dan suluk di Nusantara sangat dipengaruhi pemikiran sufisme dari Barus dan Singkil.
Dengan penekanan Islam Nusantara sedemikian, dari pandangan Kemal Fasya bisa dipahami sejalan dengan realitas fakta-fakta yang menjadi komitmen para ahli sejarah selama ini bahwa Islam arus utama yang berporos pada fikih mazhab Syafi'iyah pertama masuk Indonesia lewat Kerajaan Pasai, di pantai timur Aceh.
Meski Barus dan Pasai tidak bisa dipisahkan. Karya-karya tokoh tasawuf, seperti Syarab al-Asyikin, Mir'atul Thulab, Tarjuman Mustafid, atau Umdat al-Muhatajin Suluk Maslak al-Mufridin dituliskan dalam bahasa Melayu beraksara Arab yang diserupakan dengan bahasa Pasai.
Di Barus dan Singkil dua hal berkembang secara bersamaan, yaitu filsafat Islam wujudiyah dan kesusasteraan Melayu. Tokoh utama sejarah Melayu dari Barus adalah Hamzah al-Fansuri yang diperkirakan lahir 1570-an dan meninggal pada 1630-an. Fansur sendiri berarti “kapur barus”. Dulunya Barus masuk wilayah Kerajaan Aceh. Pemikir besar lain lahir di Singkil, Syekh Abdurrauf as-Singkili (1615—1693).
Berabad-abad sebelum Masehi, Barus telah menjadi kota perdagangan kapur barus (kamper), kemenyan, cendana, emas, yang dikenal di Timur Jauh, Eropa, dan Afrika Utara, puncaknya Abad ke-10. Agama Islam dibawa pedagang India, Arab, dan Tiongkok. Makam ulama di Papan Tenggi berpenaggalan abad ke-13, masa ini justru ditengarai Barus mulai sepi perdagangan, tapi bangkit sebagai pusat peradaban dan sastra Melayu.
Pengembangan Islam Nusantara tidak bisa dilepaskan dari kesusasteraan Melayu Pasai pada abad ke-13 hingga ke-14, puncaknya berkibar di Barus abad-abad selanjutnya. ***
0 komentar:
Posting Komentar