TERLEPAS dari ketimpangan sosial versi Badan Pusat Statistik (BPS) dengan acuan Rasio Gini, Bank Indonesia (BI) mengintroduksi gejala ketimpangan tersendiri dengan acuan akses perbankan. Hingga saat ini baru 36% masyarakat Indonesia yang memanfaatkan fasilitas perbankan, sedang 64% belum punya akses ke perbankan.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Eny Panggabean mengatakan masih minimnya akses masyarakat ke perbankan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan di masyarakat.
"Sulitnya akses ke perbankan, maka masyarakat sulit menabung dan memanfaatkan fasilitas perbankan," ujar Eny di Jakarta, Selasa. (Kompas.com, 28/2/2017)
Menurut Eny, minimnya masyarakat mengakses perbankan karena rasio jumlah kantor bank yang ada belum sebanding dengan kebutuhan masyarakat. "Rasionya satu bank per 116 ribu penduduk, masih dibutuhkan banyak bank di daerah," ujarnya.
Lembaga keuangan seperti perbankan memiliki posisi sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat kota maupun desa. Untuk itu, BI bersama pemerintah meluncurkan strategi nasional keuangan inklusif (SNKI) pada akhir 2016 guna meningkatkan akses masyarakat ke perbankan. Target SNKI, jumlah penduduk yang memiliki akses perbankan menjadi 75% pada 2019.
Namun, hasil riset LPEM Universitas Indonesia (UI) mengesankan target itu tak mudah. Upaya mengembangkan keuangan inklusif dengan meningkatkan jumlah agen layanan keuangan digital (LKD) dan agen laku pandai (layanan keuangan tanpa kantor) cenderung masih terbatas pada agen individual mitra BRI, Bank Mandiri, BNI, dan BTPN. Belum ditemukan agen yang berbadan hukum, atau agen telekomunikasi, kecuali berupa minimarket.
Kata peneliti LPEM UI, penyebab kekurangan agen dari nonbank paling jelas adalah terkait literasi keuangan. Padahal, dari penelitian itu juga terlihat, usaha keagenan jika ditekuni memberi dampak positif bagi pemilik usaha. Lebih dari 80% agen menyatakan pendapatan dari usaha keagenan memenuhi ekspektasi mereka.
Atas dasar itu, LPEM UI merekomendasikan kepada pemerintah, BI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membentuk pusat informasi dan pelatihan bagi agen LKD dan laku pandai.
Tampak, untuk target SKNI pada 2019 sebesar 75% masyarakat memiliki akses perbankan, sarana inklusi keuangannya, LKD dan laku pandai, masih jauh dari cukup. Pengurangan ketimpangan versi BI ini pun menjadi tantangan yang amat jelas kuantitatifnya. ***
"Sulitnya akses ke perbankan, maka masyarakat sulit menabung dan memanfaatkan fasilitas perbankan," ujar Eny di Jakarta, Selasa. (Kompas.com, 28/2/2017)
Menurut Eny, minimnya masyarakat mengakses perbankan karena rasio jumlah kantor bank yang ada belum sebanding dengan kebutuhan masyarakat. "Rasionya satu bank per 116 ribu penduduk, masih dibutuhkan banyak bank di daerah," ujarnya.
Lembaga keuangan seperti perbankan memiliki posisi sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat kota maupun desa. Untuk itu, BI bersama pemerintah meluncurkan strategi nasional keuangan inklusif (SNKI) pada akhir 2016 guna meningkatkan akses masyarakat ke perbankan. Target SNKI, jumlah penduduk yang memiliki akses perbankan menjadi 75% pada 2019.
Namun, hasil riset LPEM Universitas Indonesia (UI) mengesankan target itu tak mudah. Upaya mengembangkan keuangan inklusif dengan meningkatkan jumlah agen layanan keuangan digital (LKD) dan agen laku pandai (layanan keuangan tanpa kantor) cenderung masih terbatas pada agen individual mitra BRI, Bank Mandiri, BNI, dan BTPN. Belum ditemukan agen yang berbadan hukum, atau agen telekomunikasi, kecuali berupa minimarket.
Kata peneliti LPEM UI, penyebab kekurangan agen dari nonbank paling jelas adalah terkait literasi keuangan. Padahal, dari penelitian itu juga terlihat, usaha keagenan jika ditekuni memberi dampak positif bagi pemilik usaha. Lebih dari 80% agen menyatakan pendapatan dari usaha keagenan memenuhi ekspektasi mereka.
Atas dasar itu, LPEM UI merekomendasikan kepada pemerintah, BI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membentuk pusat informasi dan pelatihan bagi agen LKD dan laku pandai.
Tampak, untuk target SKNI pada 2019 sebesar 75% masyarakat memiliki akses perbankan, sarana inklusi keuangannya, LKD dan laku pandai, masih jauh dari cukup. Pengurangan ketimpangan versi BI ini pun menjadi tantangan yang amat jelas kuantitatifnya. ***
0 komentar:
Posting Komentar