KETUA Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis menyatakan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) sebagai hasil pemeriksaan BPK tidak menjamin telah bebas dari korupsi.
"Dengan memperoleh opini WTP, seharusnya tidak ada lagi korupsi di entitas tersebut. Namun, kenyataannya, korupsi masih terjadi. Riau dan Sumatera Utara contohnya," ujar Harry dalam Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan: Good Governance dan Pencegahan Korupsi, yang digelar Paguyuban Masyarakat Sumatera Bagian Selatan di gedung parlemen Senayan, Jakarta, Senin. (Kompas, 7/3/2017)
Di Riau, korupsi tidak terdeteksi dari hasil audit laporan keuangan Pemerintah Provinsi Riau oleh BPK karena bukan anggaran negara yang dikorupsi. Tahun 2014, Gubernur Riau Anas Mamun ditangkap tangan oleh KPK karena menerima suap dari pengusaha kelapa sawit terkait alih fungsi lahan dan ijon proyek.
"Jadi, pemimpin daerah sudah makin pintar. Mereka tahu yang diaudit oleh BPK dan yang tidak. Bagian yang tidak itu yang mereka masuki untuk korupsi," tambahnya.
Sementara di Sumut, BPK memang memberi opini WTP, tetapi dengan catatan Pemprov Sumut harus bisa mempertanggungjawabkan bantuan sosial sebesar Rp300 miliar.
"Sebenarnya dana itu cukup dikembalikan ke kas negara. Namun, Gubernur Gatot Pujo Nugroho menggugatnya ke pengadilan dan ternyata ada upaya suap kepada pengadilan, diketahui KPK, dan ujungnya Gubernur ditangkap KPK," ujarnya.
Artinya, banyak peluang korupsi yang tidak terdeteksi audit BPK. Bupati Klaten, Jawa Tengah, misalnya, kena OTT KPK karena menerima suap dari bawahannya demi memperoleh jabatan tertentu. Jadi, setiap jabatan di kabupaten itu ada harganya sesuai dengan gengsi dan "basah"-nya, siapa yang sanggup membelinya akan mendapatkan suatu jabatan.
Bayangkan ketika seorang kepala daerah melantik sekian puluh pejabat baru, dengan setiap kursi jabatannya bernilai setoran tinggi untuk kepala daerah, betapa banyak dana di luar deteksi audit BPK yang didapat kepala daerah.
Dahulu, bukan hanya jabatan yang bernilai setoran tinggi, penerimaan pegawai baru juga merupakan sumber dana nonanggaran yang cukup besar perolehannya. Lain hal sekarang ketika yang terjadi justru moratorium penerimaan pegawai baru. Dahulu memang lebih leluasa karena polisi juga belum ditugasi menyidik korupsi. Kini, meski KPK jauh dari daerah, ada polisi dan jaksa yang dekat. Tinggal kejelian polisi dan jaksa menjadi penentu tersingkapnya korupsi di daerah. Tak harus menunggu OTT KPK. ***
Di Riau, korupsi tidak terdeteksi dari hasil audit laporan keuangan Pemerintah Provinsi Riau oleh BPK karena bukan anggaran negara yang dikorupsi. Tahun 2014, Gubernur Riau Anas Mamun ditangkap tangan oleh KPK karena menerima suap dari pengusaha kelapa sawit terkait alih fungsi lahan dan ijon proyek.
"Jadi, pemimpin daerah sudah makin pintar. Mereka tahu yang diaudit oleh BPK dan yang tidak. Bagian yang tidak itu yang mereka masuki untuk korupsi," tambahnya.
Sementara di Sumut, BPK memang memberi opini WTP, tetapi dengan catatan Pemprov Sumut harus bisa mempertanggungjawabkan bantuan sosial sebesar Rp300 miliar.
"Sebenarnya dana itu cukup dikembalikan ke kas negara. Namun, Gubernur Gatot Pujo Nugroho menggugatnya ke pengadilan dan ternyata ada upaya suap kepada pengadilan, diketahui KPK, dan ujungnya Gubernur ditangkap KPK," ujarnya.
Artinya, banyak peluang korupsi yang tidak terdeteksi audit BPK. Bupati Klaten, Jawa Tengah, misalnya, kena OTT KPK karena menerima suap dari bawahannya demi memperoleh jabatan tertentu. Jadi, setiap jabatan di kabupaten itu ada harganya sesuai dengan gengsi dan "basah"-nya, siapa yang sanggup membelinya akan mendapatkan suatu jabatan.
Bayangkan ketika seorang kepala daerah melantik sekian puluh pejabat baru, dengan setiap kursi jabatannya bernilai setoran tinggi untuk kepala daerah, betapa banyak dana di luar deteksi audit BPK yang didapat kepala daerah.
Dahulu, bukan hanya jabatan yang bernilai setoran tinggi, penerimaan pegawai baru juga merupakan sumber dana nonanggaran yang cukup besar perolehannya. Lain hal sekarang ketika yang terjadi justru moratorium penerimaan pegawai baru. Dahulu memang lebih leluasa karena polisi juga belum ditugasi menyidik korupsi. Kini, meski KPK jauh dari daerah, ada polisi dan jaksa yang dekat. Tinggal kejelian polisi dan jaksa menjadi penentu tersingkapnya korupsi di daerah. Tak harus menunggu OTT KPK. ***
0 komentar:
Posting Komentar