Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Jokowi, Ingat Kemiskinan Lampung!

DALAM rapat terbatas di Kantor Presiden mengenai evaluasi pelaksanaan proyek strategis nasional dan program prioritas di Provinsi Lampung, Presiden Jokowi menyebut ekonomi mulai menggeliat dan tumbuh pesat, 5,15%, di atas perekonomian nasional 5,02%. Rapat pada Senin (6/3/2017) itu dihadiri Gubernur Lampung Ridho Ficardo.
"Tapi sekali lagi saya minta perekonomian yang semakin tinggi ini harus bisa berdampak langsung terhadap 13,8% penduduk miskin yang masih ada di Provinsi Lampung," kata Jokowi. (Lampost.com, 6/3/2017)
Jokowi meyakini ke depan perekonomian Lampung bisa tumbuh lebih cepat. Terpenting, Pemprov Lampung fokus bekerja menggarap sektor unggulannya.
Provinsi Lampung punya potensi besar, baik di bidang pertanian, perikanan, maupun perkebunan yang menyumbang 31,4% PDRB Lampung, diikuti industri pengolahan 18,8%.
"Dan untuk tumbuh lebih cepat lagi, infrastruktur pendukung harus dibenahi, baik transportasi, jalan tol lintas Sumatera, pembangkit listrik, cold storage, sektor perikanan, bendungan, maupun irigasi harus memadai untuk penunjang sektor pertanian," ujar Jokowi.
Dari uraian Jokowi tampak banyak hal yang harus ditangani. Namun, dari semua itu, resultan yang harus dilihat sebagai hasilnya adalah penurunan kemiskinan di Lampung, yang seperti pertumbuhan ekonominya, juga di atas kemiskinan nasional 10,86% (BPS).
Jadi anomali terjadi di Lampung, pertumbuhan ekonomi yang tinggi disertai angka kemiskinan yang tinggi pula. Semestinya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi menghasilkan kemiskinan yang rendah.
Anomali itu layak diwaspadai karena bisa terjadi akibat pertumbuhan hanya dinikmati segelintir orang sehingga semakin tinggi pertumbuhan akan semakin tinggi pula angka kemiskinan.
Anomali itu bisa saja cerminan karakter khas ekonomi Lampung, yakni banyak perkebunan besar berskala puluhan ribu hektare manajemen induknya berada di Jakarta atau bahkan di luar negeri. Akibatnya, penghasilan ekspor atau penjualan produksinya tertahan di kantor induk usaha di luar Lampung, dinikmati owner dan para pemegang saham. Sedang yang kembali ke Lampung hanya upah buruh dan biaya operasional yang pas-pasan sehingga tidak ada nilai tambah yang efektif untuk menurunkan angka kemiskinan Lampung.
Hal itu hanya bisa diatasi jika corporate social responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan besar dikelola lembaga (publik) yang berfungsi mengatasi langsung kemiskinan. Tanpa itu, relevansi pertumbuhan dan kemiskinan bisa berwujud anomali. ***

0 komentar: