PEKAN ini bangsa Indonesia riang gembira menyambut Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud yang datang bersama 25 pangeran dan 10 menteri. Dengan rombongan 1.500 orang, tamu negara ini terbilang paling lama berada di Tanah Air, yakni sembilan hari.
Keriangan itu jangan cepat dinodai dengan pertanyaan apa oleh-olehnya? Saru! Apalagi membanding waktu ke Malaysia, Raja Arab itu membawa oleh-oleh Rp95 triliun. Jumlah penduduk Malaysia 20 juta, Indonesia 12 kali lipatnya, seharusnya oleh-olehnya dikalikan sebanding.
Jangan terlalu berharap begitu, kurang sopan. Kedatangan tamu, lebih-lebih tamu agung, terpenting silaturahminya. Silaturahmi itu yang menjadi jalan rezeki.
Sebaliknya, jangan pula berpikir negatif. Misalnya, Raja Arab datang untuk memalingkan investasinya kemari karena di Barat makin berat. Di Amerika, Presiden Trump proteksionis, bahkan anti-Islam. Di Eropa, krisis Yunani, Portugal, dan Spanyol tidak kunjung pulih, malah Inggris keluar dari Uni Eropa—Brexit. Di timur, ada Tiongkok, India, dan Indonesia yang selain pertumbuhan ekonomi zonanya tertinggi di dunia, total penduduknya nyaris separuh warga bumi.
Jadi bukan ketulusan silaturahmi atau ingin membantu masyarakat Indonesia sebagai penduduk muslim terbesar di dunia, melainkan kedatangannya semata untuk menyelamatkan investasinya dari perubahan geopolitik dan perekonomian global. Jangan sekali pun berpikir seperti itu karena dengan begitu terkesan kurang ikhlas, menilai tamu agung hanya seperti pedagang keliling.
Jadi, sambutlah tamu agung kita dengan penuh rasa syukur atas datangnya saudara bersilaturahmi. Untuk orang yang datang bersilaturahmi jangan dibuat kali-kali saling untung, atau dicurigai mau cari untung saja. Namanya saudara terikat silaturahmi, yang pasti ialah tolong-menolong.
Silaturahmi dan tolong-menolong, itulah konteks persaudaraan terbaik. Apalagi saudara kita itu orang baik. Bukan hanya baik pada sesama manusia. Namun juga penilaian Sang Khalik, yang memberinya amanah sebagai Khadimul Haramain, pelayan dua Tanah Suci—Mekah dan Madinah.
Jadi jangan menilai persahabatan ini memakai ukuran duniawi. Nilailah persahabatan ini dengan orientasi ukhrawi, masa depan yang hakiki. Perubahan geopolitik dan ekonomi global yang mendorongnya memalingkan perhatian kemari, bagian skenario mendekatkan antarsaudara tersebut.
Bangsa Indonesia riang gembira, menerima saudara pemimpin negara yang mayoritas warganya sesama muslim. ***
Jangan terlalu berharap begitu, kurang sopan. Kedatangan tamu, lebih-lebih tamu agung, terpenting silaturahminya. Silaturahmi itu yang menjadi jalan rezeki.
Sebaliknya, jangan pula berpikir negatif. Misalnya, Raja Arab datang untuk memalingkan investasinya kemari karena di Barat makin berat. Di Amerika, Presiden Trump proteksionis, bahkan anti-Islam. Di Eropa, krisis Yunani, Portugal, dan Spanyol tidak kunjung pulih, malah Inggris keluar dari Uni Eropa—Brexit. Di timur, ada Tiongkok, India, dan Indonesia yang selain pertumbuhan ekonomi zonanya tertinggi di dunia, total penduduknya nyaris separuh warga bumi.
Jadi bukan ketulusan silaturahmi atau ingin membantu masyarakat Indonesia sebagai penduduk muslim terbesar di dunia, melainkan kedatangannya semata untuk menyelamatkan investasinya dari perubahan geopolitik dan perekonomian global. Jangan sekali pun berpikir seperti itu karena dengan begitu terkesan kurang ikhlas, menilai tamu agung hanya seperti pedagang keliling.
Jadi, sambutlah tamu agung kita dengan penuh rasa syukur atas datangnya saudara bersilaturahmi. Untuk orang yang datang bersilaturahmi jangan dibuat kali-kali saling untung, atau dicurigai mau cari untung saja. Namanya saudara terikat silaturahmi, yang pasti ialah tolong-menolong.
Silaturahmi dan tolong-menolong, itulah konteks persaudaraan terbaik. Apalagi saudara kita itu orang baik. Bukan hanya baik pada sesama manusia. Namun juga penilaian Sang Khalik, yang memberinya amanah sebagai Khadimul Haramain, pelayan dua Tanah Suci—Mekah dan Madinah.
Jadi jangan menilai persahabatan ini memakai ukuran duniawi. Nilailah persahabatan ini dengan orientasi ukhrawi, masa depan yang hakiki. Perubahan geopolitik dan ekonomi global yang mendorongnya memalingkan perhatian kemari, bagian skenario mendekatkan antarsaudara tersebut.
Bangsa Indonesia riang gembira, menerima saudara pemimpin negara yang mayoritas warganya sesama muslim. ***
0 komentar:
Posting Komentar