SOSIALISASI Rancangan Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan usulan hak angket kasus KTP-el dari kalangan anggota DPR yang dilakukan saat kasus korupsi KTP-el yang dakwaannya menyebut nama banyak anggota DPR mulai disidangkan di pengadilan, bisa diasumsikan sebagai serangan balik DPR terhadap KPK. Sebagai serangan balik, revisi UU KPK bisa melemahkan KPK dari berbagai fungsinya, seperti penyadapan harus dengan izin hakim, bahkan usia KPK dibatasi hanya sampai 12 tahun lagi.
Ancaman sedemikian bisa saja mendorong KPK membuka peluang bargain peringanan bagi anggota DPR yang terkait KTP-el. Kalau tidak, serangan balik bisa merisaukan hingga memperlambat proses penanganan kasus KTP-el terkait anggota DPR—sampai habis masa jabatan komisioner KPK sekarang diganti komisioner baru hasil pilihan DPR.
Lebih berat lagi serangan balik DPR dengan hak angket, justru KPK yang dijadikan pesakitan, diperiksa dan harus menjelaskan materi penyidikan serta menjawab pertanyaan anggota DPR—karena arti hak angket itu adalah hak bertanya! Bahkan lebih buruk dari itu, DPR bisa memberi penilaian baik-buruk atau salah-benarnya kerja KPK, sehingga proses hukum terintervensi campur tangan politik dan kekuasaan.
Kalau hal itu sampai terjadi, proses the rule of law secara efektif bergeser menjadi the rule of power. Bukan supremasi hukum lagi yang dihasilkan, melainkan suatu bentuk match staat (negara kekuasaan) yang dalam hal ini heavy ke legislative power.
Namun, karena baik revisi UU maupun hak angket tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan eksekutif, yakni untuk revisi UU harus dibahas bersama eksekutif, sedangkan hak angket prinsipnya legislatif bertanya pada eksekutif, yang dalam hal ini subjek eksekutifnya KPK.
Dengan kedua hal itu tidak bisa melepaskan peran eksekutif, peluang DPR tak cukup bebas untuk melakukannya. Untuk revisi UU KPK yang pernah diajukan DPR dan disepakati masuk program legislasi nasional (prolegnas) 2016, ternyata terhenti oleh pernyataan Presiden Joko Widodo yang tidak setuju revisi UU yang melemahkan KPK.
Untuk hak angket, Presiden Joko Widodo terkesan dingin dengan usulan yang disampaikan seorang wakil ketua DPR kepadanya. Sebaliknya, Presiden menegaskan agar KPK membongkar tuntas kasus KTP-el. Ia meyakini KPK akan bertindak profesional dalam menangani kasus korupsi KTP-el. (Kompas, 12/3/2017)
Tampaknya, situasi medan serangan balik DPR terhadap KPK yang kurang mendukung. ***
Lebih berat lagi serangan balik DPR dengan hak angket, justru KPK yang dijadikan pesakitan, diperiksa dan harus menjelaskan materi penyidikan serta menjawab pertanyaan anggota DPR—karena arti hak angket itu adalah hak bertanya! Bahkan lebih buruk dari itu, DPR bisa memberi penilaian baik-buruk atau salah-benarnya kerja KPK, sehingga proses hukum terintervensi campur tangan politik dan kekuasaan.
Kalau hal itu sampai terjadi, proses the rule of law secara efektif bergeser menjadi the rule of power. Bukan supremasi hukum lagi yang dihasilkan, melainkan suatu bentuk match staat (negara kekuasaan) yang dalam hal ini heavy ke legislative power.
Namun, karena baik revisi UU maupun hak angket tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan eksekutif, yakni untuk revisi UU harus dibahas bersama eksekutif, sedangkan hak angket prinsipnya legislatif bertanya pada eksekutif, yang dalam hal ini subjek eksekutifnya KPK.
Dengan kedua hal itu tidak bisa melepaskan peran eksekutif, peluang DPR tak cukup bebas untuk melakukannya. Untuk revisi UU KPK yang pernah diajukan DPR dan disepakati masuk program legislasi nasional (prolegnas) 2016, ternyata terhenti oleh pernyataan Presiden Joko Widodo yang tidak setuju revisi UU yang melemahkan KPK.
Untuk hak angket, Presiden Joko Widodo terkesan dingin dengan usulan yang disampaikan seorang wakil ketua DPR kepadanya. Sebaliknya, Presiden menegaskan agar KPK membongkar tuntas kasus KTP-el. Ia meyakini KPK akan bertindak profesional dalam menangani kasus korupsi KTP-el. (Kompas, 12/3/2017)
Tampaknya, situasi medan serangan balik DPR terhadap KPK yang kurang mendukung. ***
0 komentar:
Posting Komentar