DI tengah simpang siur klaim dukungan dalam pemilihan kepala daerah, pengasuh pondok pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah, memberi contoh penegasan netralitasnya di antara pasangan-pasangan yang bersaing.
Untuk itu, Gus Sholah, Rabu (22/3/2017) sore, di Jakarta, mengatakan pertemuannya dengan calon wakil gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat bukan bentuk dukungan. Dia mengatakan pertemuan itu hanya untuk menyambung silaturahmi.
"Ndak ada dukungan kepada siapa pun juga. Kemarin kan Saudara Anies (Baswedan)-Sandi (Sandiaga Uno) ke mari, ya monggo saja. Kita kan silaturahmi," ujar Gus Sholah (Kompas.com, 22/3/2017).
Pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno memang berkunjung ke kediaman Gus Sholah di Jalan Bangka, Mampang Pela, Jakarta, beberapa hari sebelumnya.
Gus Sholah mengatakan dua pertemuan itu berangkat dari niat baik. Dua pasangan cagub dan cawagub sama-sama memiliki niat baik dalam mengikuti pilkada.
"Tidak ada yang niatnya jelek, yang ramai ini kan pendukungnya. Kadang-kadang main bola di lapangan itu enggak berkelahi yah, tapi Bonek sama Aremania itu yang berantem," ujar Gus Sholah.
Gus Sholah juga berharap kompetisi dalam pilkada akan selesai setelah putaran kedua. Dia tidak mau tersisa perpecahan setelah pilkada berakhir. "Jangan sampai ada kelanjutan, tidak boleh ada perpecahan. Kita harus saling menghormati dan saling menghargai. Toh, apa pun juga kita adalah bangsa Indonesia," ujar Gus Sholah.
Keteladanan Gus Sholah dengan netralitas sikapnya di antara pasangan-pasangan yang bersaing di pilkada itu bukan saja menjadi contoh positif bagi kalangan senior dan tokoh panutan sebagai pengayom masyarakat, melainkan juga mengandung hikmah berupa pelajaran untuk saling menghormati dan saling menghargai.
Posisi para tokoh panutan yang tegas dan jelas selaku pengayom tidak berpihak itu bisa menjadi jangkar masyarakat dari guncangan dinamika sosial-politik akibat pilkada, sehingga masyarakat tidak terombang-ambing bahkan pecah dan tercerai-berai oleh tarik-menarik kekuatan politik pilkada.
Saling menghormati dan saling menghargai dalam ikatan silaturahmi itu terutama atas pilihan politik sesama warga dalam pilkada. Beda pilihan calon atau partai adalah hal yang wajar dan biasa saja, tidak harus memutus silaturahmi, apalagi menjadikannya seteru dan bermusuhan. Beda pilihan justru menceminkan jiwa-jiwa merdeka dalam masyarakat Bhinneka Tunggal Ika. ***
"Ndak ada dukungan kepada siapa pun juga. Kemarin kan Saudara Anies (Baswedan)-Sandi (Sandiaga Uno) ke mari, ya monggo saja. Kita kan silaturahmi," ujar Gus Sholah (Kompas.com, 22/3/2017).
Pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno memang berkunjung ke kediaman Gus Sholah di Jalan Bangka, Mampang Pela, Jakarta, beberapa hari sebelumnya.
Gus Sholah mengatakan dua pertemuan itu berangkat dari niat baik. Dua pasangan cagub dan cawagub sama-sama memiliki niat baik dalam mengikuti pilkada.
"Tidak ada yang niatnya jelek, yang ramai ini kan pendukungnya. Kadang-kadang main bola di lapangan itu enggak berkelahi yah, tapi Bonek sama Aremania itu yang berantem," ujar Gus Sholah.
Gus Sholah juga berharap kompetisi dalam pilkada akan selesai setelah putaran kedua. Dia tidak mau tersisa perpecahan setelah pilkada berakhir. "Jangan sampai ada kelanjutan, tidak boleh ada perpecahan. Kita harus saling menghormati dan saling menghargai. Toh, apa pun juga kita adalah bangsa Indonesia," ujar Gus Sholah.
Keteladanan Gus Sholah dengan netralitas sikapnya di antara pasangan-pasangan yang bersaing di pilkada itu bukan saja menjadi contoh positif bagi kalangan senior dan tokoh panutan sebagai pengayom masyarakat, melainkan juga mengandung hikmah berupa pelajaran untuk saling menghormati dan saling menghargai.
Posisi para tokoh panutan yang tegas dan jelas selaku pengayom tidak berpihak itu bisa menjadi jangkar masyarakat dari guncangan dinamika sosial-politik akibat pilkada, sehingga masyarakat tidak terombang-ambing bahkan pecah dan tercerai-berai oleh tarik-menarik kekuatan politik pilkada.
Saling menghormati dan saling menghargai dalam ikatan silaturahmi itu terutama atas pilihan politik sesama warga dalam pilkada. Beda pilihan calon atau partai adalah hal yang wajar dan biasa saja, tidak harus memutus silaturahmi, apalagi menjadikannya seteru dan bermusuhan. Beda pilihan justru menceminkan jiwa-jiwa merdeka dalam masyarakat Bhinneka Tunggal Ika. ***
0 komentar:
Posting Komentar