PEMERINTAH Indonesia melalui Kementerian Perdagangan menggugat Uni Eropa (UE) ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas tingginya tarif bea masuk anti-dumping (BMAD) terhadap produk biodiesel sebesar 8,8%—23,3% (76,94 euro—178,85 euro) per ton.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurman, Senin (20/3/2017), menyatakan sejak pemberlakuan BAMD pada 2013, kinerja ekspor biodiesel Indonesia ke UE merosot dari 635 juta AS dolar pada 2013 menjadi 9 juta AS dolar pada 2016 (CNN-Indonesia, 20/3/2017).
Indonesia meyakini Komisi Eropa (KE) selaku otoritas penyelidikan melakukan kesalahan dalam metodologi dan penghitungan nilai normal dan profit margin yang menyebabkan biodiesel Indonesia dikenakan BMAD tinggi.
Pemerintah Indonesia mengajukan gugatan setelah Argentina yang mengalami nasib sama gugatannya menang di tingkat Appellate Body (AB) WTO. Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag Pradnyawati menyatakan, "Kami siap menyampaikan gugatan pada pertemuan pertama 29—30 Maret 2017 ini di markas besar WTO di Jenewa."
"Indonesia memiliki gugatan yang serupa dengan Argentina dalam melawan UE. Belajar dari pengalaman Argentina, kami optimistis Indonesia dapat memenangkan gugatan di DSB WTO sehingga UE menurunkan margin dumping atau membatalkannya," ujar Pradnyawati.
Di sisi lain, produsen/eksportir Indonesia telah memenangkan gugatan atas BAMD UE ini ke General Court UE. Pada 19 September 2016, Reuters memberitakan pengadilan General Court UE mengabulkan gugatan tersebut dan memerintahkan KE untuk membatalkan penetapan BAMD terhadap Indonesia dan Argentina. Saat ini Dewan UE sedang banding atas putusan General Court UE itu ke The European Court of Justice.
Putusan akhir pengadilan UE dan WTO atas BAMD ekspor biodiesel Indonesia itu sangat diharapkan karena tarif bea masuk itu amat memberatkan produsen/eksportir Indonesia, yang di dalam negeri sendiri setiap ekspor biodiesel kena pungutan 20 dolar AS per ton untuk Badan Pengelola Dana Perkebunan (Kontan.co.id, 19/3/2017).
Dasar putusan KE menetapkan BMAD tinggi itu on the spot verification pada 2012, waktu itu telah dibantah pemerintah. Tapi, karena tujuannya memproteksi industri dalam negerinya, mereka paksakan.
Bahkan, kampanye antisawit Indonesia di UE tak henti. Terakhir hasil voting Parlemen UE menyatakan sawit penyebab deforestasi, degradasi habitat, masalah HAM dan tenaga kerja anak (Kompas.com, 20/3/2017). Tampak, medan perjuangan cukup berat. ***
Indonesia meyakini Komisi Eropa (KE) selaku otoritas penyelidikan melakukan kesalahan dalam metodologi dan penghitungan nilai normal dan profit margin yang menyebabkan biodiesel Indonesia dikenakan BMAD tinggi.
Pemerintah Indonesia mengajukan gugatan setelah Argentina yang mengalami nasib sama gugatannya menang di tingkat Appellate Body (AB) WTO. Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag Pradnyawati menyatakan, "Kami siap menyampaikan gugatan pada pertemuan pertama 29—30 Maret 2017 ini di markas besar WTO di Jenewa."
"Indonesia memiliki gugatan yang serupa dengan Argentina dalam melawan UE. Belajar dari pengalaman Argentina, kami optimistis Indonesia dapat memenangkan gugatan di DSB WTO sehingga UE menurunkan margin dumping atau membatalkannya," ujar Pradnyawati.
Di sisi lain, produsen/eksportir Indonesia telah memenangkan gugatan atas BAMD UE ini ke General Court UE. Pada 19 September 2016, Reuters memberitakan pengadilan General Court UE mengabulkan gugatan tersebut dan memerintahkan KE untuk membatalkan penetapan BAMD terhadap Indonesia dan Argentina. Saat ini Dewan UE sedang banding atas putusan General Court UE itu ke The European Court of Justice.
Putusan akhir pengadilan UE dan WTO atas BAMD ekspor biodiesel Indonesia itu sangat diharapkan karena tarif bea masuk itu amat memberatkan produsen/eksportir Indonesia, yang di dalam negeri sendiri setiap ekspor biodiesel kena pungutan 20 dolar AS per ton untuk Badan Pengelola Dana Perkebunan (Kontan.co.id, 19/3/2017).
Dasar putusan KE menetapkan BMAD tinggi itu on the spot verification pada 2012, waktu itu telah dibantah pemerintah. Tapi, karena tujuannya memproteksi industri dalam negerinya, mereka paksakan.
Bahkan, kampanye antisawit Indonesia di UE tak henti. Terakhir hasil voting Parlemen UE menyatakan sawit penyebab deforestasi, degradasi habitat, masalah HAM dan tenaga kerja anak (Kompas.com, 20/3/2017). Tampak, medan perjuangan cukup berat. ***
0 komentar:
Posting Komentar