DUNIA mengutuk serangan bom kimia di Kota Khan Sheikhun, Provinsi Idlib, Suriah, yang dikuasai pemberontak, menewaskan 72 warga sipil, termasuk 20 anak, Selasa (4/4/2017). Dilaporkan, sejumlah pesawat tempur rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad dibantu militer Rusia menjatuhkan bom kimia beracun.
Sekjen PBB Antonio Guterres menegaskan, Rabu (5/4/2017), peristiwa mengerikan kemarin menunjukkan kejahatan perang terus terjadi di Suriah dan hukum humaniter internasional kerap dilanggar. Ia berjanji PBB akan menemukan pihak yang bertanggung jawab. (MI/AFP/AP, 5/4/2017)
Senada Guterres, pemimpin umat Katolik sedunia Paus Fransiskus, Ketua Liga Arab Ahmed Aboul Gheit, Menlu Inggris Boris Johnson, dan tokoh dunia lainnya serentak mengutuk serangan bom kimia di Suriah itu. Paus menyebut serangan itu pembantaian yang tidak bisa diterima.
Para korban selamat menyebut serangan itu dilakukan pagi ketika mereka masih tidur. Dilansir CNN, Kamis (6/4/2017), seorang bocah laki-laki usia 13 tahun, Mazin Yusif, hanya bisa menangis saat mendapati dia terbaring di rumah sakit Reyhanli, Turki Selatan, dekat perbatasan Suriah. Sekitar 25 korban selamat dari serangan kimia dirawat di situ.
"Pukul 06.30 pesawat datang. Saya lari ke atap dan melihat serangan terjadi di depan rumah kakek saya," tutur Yusif ke CNN. Yusif kemudian mememukan kakeknya sudah terduduk. Ia keluar untuk minta bantuan. Namun, kepalanya pusing dan tersadar sudah di RS. (detiknews, 6/4/2017)
Tim organisasi amal dokter tanpa batas (MSF), Rabu (5/4/2017), mengatakan telah menemukan tanda-tanda penggunaan gas saraf, seperti sarin, dalam serangan gas di Suriah itu. Tim MSF memeriksa sejumlah korban di RS Bab al-Hawa, 100 km utara lokasi serangan gas di Provinsi Idlib itu.
"Delapan pasien menunjukkan beberapa gejala seperti pupil mata mengecil, otot bergetar, dan buang-buang air," ujar tim MSF. (Kompas.com, 5/4/2017)
Sementara itu, Rusia tetap mendukung sekutunya, Suriah, menjelang sidang Dewan Keamanan (DK) PBB membahas keterlibatan Presiden Bashar al-Assad dalam serangan kimia itu. Rusia punya hak veto di DK PBB. Untuk itu, rezim Bashar al-Assad membantah terlibat dalam serangan senjata kimia itu.
Dengan hak veto Rusia, tuntutan tanggung jawab tragedi kemanusiaan itu tidak akan tuntas. Hanya di Mahkamah Internasional ungkapan para saksi hidup punya arti, asal didukung bukti materiel yang kuat. Namun, prosesnya perlu waktu, sementara bencana kemanusiaan itu terus merebak makin parah. ***
Senada Guterres, pemimpin umat Katolik sedunia Paus Fransiskus, Ketua Liga Arab Ahmed Aboul Gheit, Menlu Inggris Boris Johnson, dan tokoh dunia lainnya serentak mengutuk serangan bom kimia di Suriah itu. Paus menyebut serangan itu pembantaian yang tidak bisa diterima.
Para korban selamat menyebut serangan itu dilakukan pagi ketika mereka masih tidur. Dilansir CNN, Kamis (6/4/2017), seorang bocah laki-laki usia 13 tahun, Mazin Yusif, hanya bisa menangis saat mendapati dia terbaring di rumah sakit Reyhanli, Turki Selatan, dekat perbatasan Suriah. Sekitar 25 korban selamat dari serangan kimia dirawat di situ.
"Pukul 06.30 pesawat datang. Saya lari ke atap dan melihat serangan terjadi di depan rumah kakek saya," tutur Yusif ke CNN. Yusif kemudian mememukan kakeknya sudah terduduk. Ia keluar untuk minta bantuan. Namun, kepalanya pusing dan tersadar sudah di RS. (detiknews, 6/4/2017)
Tim organisasi amal dokter tanpa batas (MSF), Rabu (5/4/2017), mengatakan telah menemukan tanda-tanda penggunaan gas saraf, seperti sarin, dalam serangan gas di Suriah itu. Tim MSF memeriksa sejumlah korban di RS Bab al-Hawa, 100 km utara lokasi serangan gas di Provinsi Idlib itu.
"Delapan pasien menunjukkan beberapa gejala seperti pupil mata mengecil, otot bergetar, dan buang-buang air," ujar tim MSF. (Kompas.com, 5/4/2017)
Sementara itu, Rusia tetap mendukung sekutunya, Suriah, menjelang sidang Dewan Keamanan (DK) PBB membahas keterlibatan Presiden Bashar al-Assad dalam serangan kimia itu. Rusia punya hak veto di DK PBB. Untuk itu, rezim Bashar al-Assad membantah terlibat dalam serangan senjata kimia itu.
Dengan hak veto Rusia, tuntutan tanggung jawab tragedi kemanusiaan itu tidak akan tuntas. Hanya di Mahkamah Internasional ungkapan para saksi hidup punya arti, asal didukung bukti materiel yang kuat. Namun, prosesnya perlu waktu, sementara bencana kemanusiaan itu terus merebak makin parah. ***
0 komentar:
Posting Komentar