Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Sekadar Sok Tahu soal Kemiskinan!

JUMLAH penduduk miskin Indonesia pada September 2014, menjelang 20 Oktober 2014 Joko Widodo-Jusuf Kalla dilantik, menurut BPS, sebanyak 27,73 juta orang atau 10,96% dari jumlah seluruh penduduk. Dua tahun kemudian, September 2016, jumlah penduduk miskin menjadi 27,76 juta orang atau 10,70% dari total penduduk.
Perhatian jangan fokus ke jumlah absolutnya karena dalam dua tahun kerja pemerintahan Jokowi-JK justru terjadi pertambahan jumlah orang miskin 30 ribu orang. Namun, pelototi persentasenya, terlihat ada penurunan tingkat kemiskinan, yang berarti kemajuan telah dicapai dalam usaha pemerintah memerangi kemiskinan.
Penurunan tingkat kemiskinan itu terjadi dari 10,96% menjadi 10,70%, atau 0,26%. Menarik tentu, kenapa jumlah absolut orang miskin bertambah 30 ribu orang, tetapi persentasenya turun 0,26%. Ini bisa terjadi karena jumlah seluruh penduduk Indonesia dalam dua tahun itu mengalami kenaikan, hingga meski jumlah orang miskin bertambah, persentasenya pada seluruh penduduk jadi menurun.
Cara pandang memokuskan perhatian pada sisi penurunan tingkat kemiskinan yang mengesankan kemajuan capaian pemerintah, dengan menafikan kenyataan jumlah absolut orang miskin sebenarnya naik, lazim disebut cara pandang positif atau bersikap optimistis.
Dalam pelajaran logika itu dicontohkan dengan menilai sebuah gelas yang berisi sepertiga. Orang yang optimistis dengan cara pandang positif menyebut sepertiga gelas itu berisi. Sedang cara pandang negatif dengan sikap pesimistis akan lebih menonjolkan dua pertiga gelas yang kosong.
Namun, sekadar berpandangan positif dan optimistis saja tidaklah cukup. Sebab, dengan demikian sisi negatif yang dinafikan bisa berkembang memburuk. Di balik sikap positif dan optimistis yang menafikan realitas negatif itu, harus ada skeptisisme atau sikap ingin tahu bagaimana mengubah atau memperbaiki realitas yang negatif itu agar jadi positif juga.
Dari situ muncul skeptisisme sebagai dasar sikap membangun. Namun, harus disadari skeptisisme itu bentuknya selalu mempertanyakan dan mempertanyakan hingga membongkar akar sebab-akibat realitas negatif tersebut. Dalam pemerintahan, realitas negatif itu biasanya terkait kesalahan atau keburukan kebijakan sehingga konsekuensinya, skeptisisme dilarang pakai—di balik intonasi agar berpandangan positif.
Akibatnya, meski tingkat (persentase) kemiskinan turun dari total penduduk yang terus bertambah, jumlah absolut orang miskin belum tentu ikut turun. ***

0 komentar: