PRESIDEN Joko Widodo dan Fitra (LSM transparansi anggaran) sama-sama meminta KPK fokus dalam menangani kasus BLBI. Namun, maksud fokus dari kedua pihak itu berbeda.
Fokus yang dimaksud Presiden adalah agar KPK sepenuhnya mendalami kasus tersebut terkait penyelewengan pada tingkat pelaksana atas kebijakan yang diambil pemerintah, bukan mencari kesalahan pada pengambil kebijakan.
Dalam kasus ini yang dimaksud Presiden agar fokus pada pengeluaran surat keterangan lunas (SKL) terhadap kewajiban obligor yang dikeluarkan (mantan) Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung, padahal sang obligor sebenarnya belum melunasi kewajibannya itu.
Dengan fokus ke situ, KPK tak memasalahkan Instruksi Presiden (Megawati) Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian kepada Obligor yang Kooperatif dan Sanksi terhadap Obligor yang Tidak Kooperatif. Kepada yang kooperatif dilakukan restrukrurisasi kewajiban penyerahan aset kepada BPPN, sesuai dengan proses litigasi yang dilakukan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), yang atas Syamsul Nursalim sebagai pemegang saham mayoritas BDNI, ditetapkan waktu itu Rp1,1 triliun ditagihkan kepada petambak. Sisanya Rp3,7 triliun belum diputuskan KKSK, tapi malah dikeluarkan SKL-nya oleh Syafruddin, begitu penjelasan Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan.
Pemisahan tanggung jawab presiden maupun KKSK sebagai pembuat kebijakan dengan tindakan penyimpangan yang dilakukan pelaksana, juga dilakukan dalam kasus Bank Century saat diproses dalam hak angket DPR. DPR tidak menjerat gubernur BI dan menteri keuangan selaku KKSK yang memutuskan bantuan penyelamatan dari krisis Bank Century. Fokusnya, penyimpangan bantuan yang dilakukan oknum-oknum di Bank Century.
Jadi, fokus yang dimaksud Presiden dalam kasus BLBI adalah pada penyimpangan yang dilakukan oknum-oknum di BPPN bersama para obligornya yang nakal.
Sedangkan fokus yang dimaksud Fitra, seperti dikatakan Deputi Sekjen LSM tersebut Apung Widadi, agar penanganan kasus BLBI ini dibuatkan timeline—penjadwalannya—yang jelas, supaya kasusnya bisa segera disidang pengadilan. Tekanan Fitra untuk itu berdasar pengalaman, seperti kasus crane Pelindo dan kasus pembelian mesin pesawat Garuda, setelah ditetapkan tersangkanya, kasusnya seperti tenggelam hilang dari permukaan.
Dengan timeline itu prosesnya terjadwal jelas dari masa penyidikan ke penuntutan, berkasnya tak masuk timbunan kasus terbengkalai. ***
Dalam kasus ini yang dimaksud Presiden agar fokus pada pengeluaran surat keterangan lunas (SKL) terhadap kewajiban obligor yang dikeluarkan (mantan) Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung, padahal sang obligor sebenarnya belum melunasi kewajibannya itu.
Dengan fokus ke situ, KPK tak memasalahkan Instruksi Presiden (Megawati) Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian kepada Obligor yang Kooperatif dan Sanksi terhadap Obligor yang Tidak Kooperatif. Kepada yang kooperatif dilakukan restrukrurisasi kewajiban penyerahan aset kepada BPPN, sesuai dengan proses litigasi yang dilakukan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), yang atas Syamsul Nursalim sebagai pemegang saham mayoritas BDNI, ditetapkan waktu itu Rp1,1 triliun ditagihkan kepada petambak. Sisanya Rp3,7 triliun belum diputuskan KKSK, tapi malah dikeluarkan SKL-nya oleh Syafruddin, begitu penjelasan Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan.
Pemisahan tanggung jawab presiden maupun KKSK sebagai pembuat kebijakan dengan tindakan penyimpangan yang dilakukan pelaksana, juga dilakukan dalam kasus Bank Century saat diproses dalam hak angket DPR. DPR tidak menjerat gubernur BI dan menteri keuangan selaku KKSK yang memutuskan bantuan penyelamatan dari krisis Bank Century. Fokusnya, penyimpangan bantuan yang dilakukan oknum-oknum di Bank Century.
Jadi, fokus yang dimaksud Presiden dalam kasus BLBI adalah pada penyimpangan yang dilakukan oknum-oknum di BPPN bersama para obligornya yang nakal.
Sedangkan fokus yang dimaksud Fitra, seperti dikatakan Deputi Sekjen LSM tersebut Apung Widadi, agar penanganan kasus BLBI ini dibuatkan timeline—penjadwalannya—yang jelas, supaya kasusnya bisa segera disidang pengadilan. Tekanan Fitra untuk itu berdasar pengalaman, seperti kasus crane Pelindo dan kasus pembelian mesin pesawat Garuda, setelah ditetapkan tersangkanya, kasusnya seperti tenggelam hilang dari permukaan.
Dengan timeline itu prosesnya terjadwal jelas dari masa penyidikan ke penuntutan, berkasnya tak masuk timbunan kasus terbengkalai. ***
0 komentar:
Posting Komentar