IRONI zaman kembali ke siklus proteksionisme pada puncak neoliberalisme justru terjadi di Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS), asal demokrasi dan liberalisme. Lebih lucu lagi, proteksionisme itu bangkit dihadapkan pada unggulan ekspor Indonesia, minyak sawit, khususnya CPO dan biodoesel.
Bukan kepalang, untuk melindungi minyak kacang dan bunga matahari yang proses produksinya secara ekonomis kalah jauh dibanding minyak sawit, Parlemen UE merilis resolusi sawit dan larangan masuk biodiesel asal Indonesia.
Padahal, realitasnya, masyarakat UE pelahap terbesar kedua ekspor CPO Indonesia, yang pada 2016 naik 3% menjadi 4,4 juta ton dari 4,2 juta ton pada 2015. Tujuan ekspor terbesar CPO kita adalah India, sebesar 5,78 juta ton pada 2016 (rilis Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia/Gapki, 31/1/2017).
Di sisi lain Presiden AS Donald Trump dalam praktik proteksionismenya memerintahkan penyelidikan apa yang disebutnya kecurangan negara-negara, neraca perdagangan AS defisit dan Indonesia masuk daftar itu. Defisit AS dari Indonesia terjadi mencolok pada lonjakan impor minyak sawit 43% pada 2016, yakni menjadi 1,08 juta ton dari 758,55 ribu ton pada 2015.
Lucunya, di balik perintah penyelidikan kecurangan itu, jika dikaitkan dengan Indonesia, peningkatan permintaan minyak sawit oleh Negeri Paman Sam karena adanya perubahan pola penggunaan minyak nabati sejak berlakunya larangan penggunaan trans fat (lemak trans) dalam produk makanan oleh Badan Administrasi Obat dan Makanan AS (FDA) sejak Juni 2015. Minyak sawit menjadi pilihan penggantinya karena tidak mengandung lemak trans.
Ironi proteksionisme itu, baik UE maupun AS, karena dinyatakan secara begitu mudahnya tanpa melihat realitas warganya yang sudah menjadikan minyak sawit sebagai kebutuhan primer. Kampanye antiminyak sawit yang menggebu-gebu sejak lama tak kunjung memengaruhi minat warga UE pada minyak sawit, sebagaimana terbukti konsumsinya terus meningkat.
Resolusi sawit Parlemen UE bagian dari kampanye tersebut. Namun, semua kampanye itu akan mentah dengan sendirinya dengan pertumbuhan penduduk dunia yang tak terbendung. Justru, peningkatan produksi bahan pangan, termasuk minyak goreng, harus tetap diupayakan.
Biarkan saja, UE yang menghambat perluasan produksi pangan itu akhirnya bisa mengalami kesulitan pangan sendiri dalam beberapa dekade ke depan. Sebelum sampai ke sana, mereka akan sadar dan mengakhiri sendiri proteksionismenya. ***
Padahal, realitasnya, masyarakat UE pelahap terbesar kedua ekspor CPO Indonesia, yang pada 2016 naik 3% menjadi 4,4 juta ton dari 4,2 juta ton pada 2015. Tujuan ekspor terbesar CPO kita adalah India, sebesar 5,78 juta ton pada 2016 (rilis Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia/Gapki, 31/1/2017).
Di sisi lain Presiden AS Donald Trump dalam praktik proteksionismenya memerintahkan penyelidikan apa yang disebutnya kecurangan negara-negara, neraca perdagangan AS defisit dan Indonesia masuk daftar itu. Defisit AS dari Indonesia terjadi mencolok pada lonjakan impor minyak sawit 43% pada 2016, yakni menjadi 1,08 juta ton dari 758,55 ribu ton pada 2015.
Lucunya, di balik perintah penyelidikan kecurangan itu, jika dikaitkan dengan Indonesia, peningkatan permintaan minyak sawit oleh Negeri Paman Sam karena adanya perubahan pola penggunaan minyak nabati sejak berlakunya larangan penggunaan trans fat (lemak trans) dalam produk makanan oleh Badan Administrasi Obat dan Makanan AS (FDA) sejak Juni 2015. Minyak sawit menjadi pilihan penggantinya karena tidak mengandung lemak trans.
Ironi proteksionisme itu, baik UE maupun AS, karena dinyatakan secara begitu mudahnya tanpa melihat realitas warganya yang sudah menjadikan minyak sawit sebagai kebutuhan primer. Kampanye antiminyak sawit yang menggebu-gebu sejak lama tak kunjung memengaruhi minat warga UE pada minyak sawit, sebagaimana terbukti konsumsinya terus meningkat.
Resolusi sawit Parlemen UE bagian dari kampanye tersebut. Namun, semua kampanye itu akan mentah dengan sendirinya dengan pertumbuhan penduduk dunia yang tak terbendung. Justru, peningkatan produksi bahan pangan, termasuk minyak goreng, harus tetap diupayakan.
Biarkan saja, UE yang menghambat perluasan produksi pangan itu akhirnya bisa mengalami kesulitan pangan sendiri dalam beberapa dekade ke depan. Sebelum sampai ke sana, mereka akan sadar dan mengakhiri sendiri proteksionismenya. ***
0 komentar:
Posting Komentar