HAK angket DPR yang semula digagas untuk meminta KPK memutar rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II DPR, Miryam S Haryani, sebagai saksi kasus KTP-el yang menyebut keterlibatan sejumlah anggota DPR, saat pengajuan ke sidang paripurna berubah menjadi usaha DPR memaksakan unjuk kuasa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Seperti dibacakan Taufiqulhadi, mewakili Komisi III, yang membacakan usulan hak angket ke paripurna, hak angket diajukan sebagai upaya pengawasan DPR terhadap kinerja KPK.
"Seperti berita acara pemeriksaan (BAP), surat perintah penyidikan (sprindik), dan surat cegah tangkal (cekal) seperti yang juga dimuat dalam berbagai media. Selanjutnya terdapat dugaan ketidakcermatan dan ketidakhati-hatian dalam penyampaian keterangan saat proses hukum maupun komunikasi publik," ujar Taufiqulhadi (detik-news, 28/4/2017) membacakan daftar dosa KPK, alasan ditempuhnya hak angket sebagai kontrol kelembagaan DPR atas KPK.
Modus tersebut tentu untuk menghindari tudingan yang sempat ramai sebelum ini bahwa dengan memaksakan membuka rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani, KPK melakukan intervensi terhadap proses hukum kasus KTP-el.
Meski modus intervensi bisa dialihkan dari mata publik pada mekanisme formal, pemaksaan unjuk kuasa DPR terhadap KPK itu malah mencolok dalam proses pengesahan hak angket di paripurna yang dilakukan secara paksa di tengah hujan interupsi yang tak digubris pimpinan sidang. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai keputusan yang diambil sewenang-wenang secara sepihak itu tidak sah.
Peneliti ICW, Lalola Easter, mengatakan pimpinan sidang paripurna yakni Fahri Hamzah tidak melakukan mekanisme angket yang diatur dalam UU No.17/2014 tentang MD3: Usulan menjadi hak angket DPR bila rapat paripurna dihadiri lebih 1/2 jumlah anggota DPR dan disetujui lebih 1/2 jumlah anggota yang hadir.
Fahri mengetok palu seusai tiga fraksi (Gerindra, Partai Demokrat, dan PKB) menolak angket dalam pandangan umum fraksinya, di tengah hujan interupsi—tanpa memberi kesempatan pada ketujuh fraksi lagi menyampaikan pandangan fraksi.
Interupsi dari para anggota yang menolak tak dipedulikan. Dua fraksi, PPP dan PKS, kepada wartawan menyatakan keberatan Fahri tidak memberi kesempatan menyampaikan pandangan fraksi.
Karena prosedur formal tak terpenuhi, menurut ICW, hak angket cacat hukum dan tidak bisa dilanjutkan. KPK pun tidak perlu datang ke forum yang ilegal dan cacat hukum itu. ***
Modus tersebut tentu untuk menghindari tudingan yang sempat ramai sebelum ini bahwa dengan memaksakan membuka rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani, KPK melakukan intervensi terhadap proses hukum kasus KTP-el.
Meski modus intervensi bisa dialihkan dari mata publik pada mekanisme formal, pemaksaan unjuk kuasa DPR terhadap KPK itu malah mencolok dalam proses pengesahan hak angket di paripurna yang dilakukan secara paksa di tengah hujan interupsi yang tak digubris pimpinan sidang. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai keputusan yang diambil sewenang-wenang secara sepihak itu tidak sah.
Peneliti ICW, Lalola Easter, mengatakan pimpinan sidang paripurna yakni Fahri Hamzah tidak melakukan mekanisme angket yang diatur dalam UU No.17/2014 tentang MD3: Usulan menjadi hak angket DPR bila rapat paripurna dihadiri lebih 1/2 jumlah anggota DPR dan disetujui lebih 1/2 jumlah anggota yang hadir.
Fahri mengetok palu seusai tiga fraksi (Gerindra, Partai Demokrat, dan PKB) menolak angket dalam pandangan umum fraksinya, di tengah hujan interupsi—tanpa memberi kesempatan pada ketujuh fraksi lagi menyampaikan pandangan fraksi.
Interupsi dari para anggota yang menolak tak dipedulikan. Dua fraksi, PPP dan PKS, kepada wartawan menyatakan keberatan Fahri tidak memberi kesempatan menyampaikan pandangan fraksi.
Karena prosedur formal tak terpenuhi, menurut ICW, hak angket cacat hukum dan tidak bisa dilanjutkan. KPK pun tidak perlu datang ke forum yang ilegal dan cacat hukum itu. ***
0 komentar:
Posting Komentar