ADA kebiasaan buruk di negeri ini. Pemerintah merasa berkinerja baik
apabila berhasil menekan sampai tingkat terendah harga produk petani
yang menjadi kebutuhan pokok rakyat, seperti beras dan gula.
Tentu
saja kebiasaan buruk menekan terus harga produk pertanian itu selain
merugikan kaum tani, juga menyengsarakan mereka. Buktinya, menurut
Sensus Pertanian BPS, dalam satu dekade (2003—2013), lebih dari 5 juta
rumah tangga tani alih profesi menjadi buruh pabrik, kuli bangunan, dan
pekerja sektor informal nonpertanian lainnya.
Akibat petani
ditekan terus itu, sektor pertanian yang ditinggal migrasi ke sektor
lain tersebut juga menurunkan terus pangsa sektor pertanian terhadap PDB
dari 22,09% pada 1990 menjadi tinggal 13,45% pada 2016. Bahkan, tenaga
kerja sektor pertanian yang pada 1990 mencapai 55,1% dari total tenaga
kerja nasional pada 2016 tinggal 31,9%.
Terakhir, ketika upah
buruh dari 2016 ke 2017 naik sekitar 10%, harga pembelian pemerintah
(HPP) beras petani ditetapkan tetap pada harga 2016, Rp7.300/kg.
Padahal, alasan utama kenaikan upah buruh itu penyesuaian dengan
inflasi, yang pasti juga dirasakan kaum tani, tetapi justru kaum tani
dibebani memikul sendiri derita akibat inflasi tersebut.
Kemudian,
pekan lalu pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) gula
pasir yang dijual di pasar Rp12.500/kg, padahal lelang gula petani pada
saat yang sama di Medan sudah mencapai Rp11.500/kg. Apakah cukup biaya
logistik dan keuntungan pedagang dari grosir sampai pengecer ditekan
hingga hanya Rp1.000/kg? Tidak mungkin!
Artinya, kata Ketua Umum
Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Sumitro Samadikun, "Pasti
harga di petani yang ditekan"! (detik-finance, 14/4).
Menurut
Sumitro, dengan kalkulasi rendemen 7%, harga pokok produksi (HPP)
petani setiap 1 kg gula sebesar Rp10.600—10.700/kg. Rendemen itu kadar
kandungan gula dalam tebu yang dinyatakan dengan persen.
"Kita
impas saja Rp10.700/kg, itu kalau rendemen 7%. Banyak pabrik gula yang
rendemen di bawah itu, artinya biaya jadi lebih besar lagi," kata dia.
"Kalau pemerintah minta harga Rp12.500/kg, harga di petani berapa?"
Masalahnya,
kenapa dari zaman ke zaman di negeri ini petani selalu dijadikan tumbal
bagi unjuk prestasi pemerintah? Adapun pihak-pihak lain, seperti buruh
pabrik, pegawai negeri, dan swasta, pendapatannya setiap tahun
disesuaikan dengan inflasi? Bisa jadi itu pertanda, keberpihakan kepada
petani baru sebatas retorika. ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Senin, 17 April 2017
Tekan Terus Harga Produk Petani!
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar