SABTU (8/4/2017), Densus 88 lewat baku tembak menewaskan enam terduga teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Tuban, Jawa Timur. Mengendarai mobil Terios, teroris menembaki pos pantau lalu lintas di kawasan Hutan Jati Peteng yang dikawal Aiptu Tatang dan Aiptu Yudi. Luput dari peluru, kedua petugas tiarap minta bantuan ke markas.
Pengejaran dan pencegatan dilakukan hingga mobil teroris terkepung ditinggalkan lari masuk hutan. Dalam baku tembak polisi berhasil menewaskan enam teroris.
Pekan sebelumnya polisi di Lampung, juga lewat baku tembak, menewaskan lima terduga begal. Juga sering terjadi, polisi menembak mati bandar narkoba yang melawan saat ditangkap.
Kalau di Filipina Presiden Rodrigo Duterte yang melakukan tembak mati tanpa proses pengadilan terhadap bandar narkoba menjadi sorotan internasional, kita yang melakukan tembak mati terhadap lebih banyak jenis pelaku kejahatan, bisa jadi hanya soal waktu saja juga akan menjadi sorotan dunia.
Masalahnya, ketiga jenis kejahatan yang para pelakunya dikenai tindakan tembak mati oleh polisi itu bukan lagi sekadar ancaman, bahkan gangguannya sudah mencemaskan dan melukai warga masyarakat. Artinya, tindakan polisi itu telah sebanding dengan keburukan perbuatan para pelaku terhadap masyarakat.
Namun tindakan tembak mati tanpa melalui proses hukum itu tetap saja kurang memenuhi standar negara hukum. Maksudnya, bagaimana agar main tembak penjahat untuk pencegahan dan penjeraan terhadap kejahatan itu tetap dilakukan supaya tekanan kriminalitas terhadap masyarakat mereda, tetapi tetap dalam koridor yang dibenarkan dalam negara hukum.
Jalan keluarnya adalah melalui peningkatan skill menembak pada aparat kepolisian kita. Dengan skill menembak yang kompetensinya teruji, bukan lagi kasus tembak kaki kena kepala atau menembak ke arah titik yang mematikan, melainkan penembakan yang dilakukan aparat kepolisian semata-mata dan dengan sungguh-sungguh hanya untuk melumpuhkan penjahat. Itu, utamanya mengarah ke bagian kaki penjahat.
Tidak mustahil, banyak orang Indonesia risih pada tindakan Duterte menembak mati bandar narkoba tanpa proses peradilan. Namun, di sini kita juga melakukannya justru pada lebih banyak jenis kejahatan.
Padahal, itu bisa diatasi dengan sekaligus mengamalkan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab hanya dengan meningkatkan skill menembak aparat kita. Di akhirat pun tidak lagi dituntut pertanggungjawaban atas nyawa orang yang dihilangkan. ***
Pekan sebelumnya polisi di Lampung, juga lewat baku tembak, menewaskan lima terduga begal. Juga sering terjadi, polisi menembak mati bandar narkoba yang melawan saat ditangkap.
Kalau di Filipina Presiden Rodrigo Duterte yang melakukan tembak mati tanpa proses pengadilan terhadap bandar narkoba menjadi sorotan internasional, kita yang melakukan tembak mati terhadap lebih banyak jenis pelaku kejahatan, bisa jadi hanya soal waktu saja juga akan menjadi sorotan dunia.
Masalahnya, ketiga jenis kejahatan yang para pelakunya dikenai tindakan tembak mati oleh polisi itu bukan lagi sekadar ancaman, bahkan gangguannya sudah mencemaskan dan melukai warga masyarakat. Artinya, tindakan polisi itu telah sebanding dengan keburukan perbuatan para pelaku terhadap masyarakat.
Namun tindakan tembak mati tanpa melalui proses hukum itu tetap saja kurang memenuhi standar negara hukum. Maksudnya, bagaimana agar main tembak penjahat untuk pencegahan dan penjeraan terhadap kejahatan itu tetap dilakukan supaya tekanan kriminalitas terhadap masyarakat mereda, tetapi tetap dalam koridor yang dibenarkan dalam negara hukum.
Jalan keluarnya adalah melalui peningkatan skill menembak pada aparat kepolisian kita. Dengan skill menembak yang kompetensinya teruji, bukan lagi kasus tembak kaki kena kepala atau menembak ke arah titik yang mematikan, melainkan penembakan yang dilakukan aparat kepolisian semata-mata dan dengan sungguh-sungguh hanya untuk melumpuhkan penjahat. Itu, utamanya mengarah ke bagian kaki penjahat.
Tidak mustahil, banyak orang Indonesia risih pada tindakan Duterte menembak mati bandar narkoba tanpa proses peradilan. Namun, di sini kita juga melakukannya justru pada lebih banyak jenis kejahatan.
Padahal, itu bisa diatasi dengan sekaligus mengamalkan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab hanya dengan meningkatkan skill menembak aparat kita. Di akhirat pun tidak lagi dituntut pertanggungjawaban atas nyawa orang yang dihilangkan. ***
0 komentar:
Posting Komentar