MITOS yang menyebut predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bisa diperjualbelikan menguat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan jual-beli WTP antara dua pejabat BPK dan dua pejabat Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes), Jumat (26/5/2017).
Adanya mitos jual-beli predikat WTP diungkap Apung Widadi, deputi Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). "Ini adalah tamparan keras bagi BPK. Mitos selama ini bahwa ada jual-beli predikat WTP di BPK seolah-olah terpecahkan," ujar Apung (detik-news, 28/5/2017).
Dalam kasus ini auditor utama BPK, Rochmadi Saptogiri, menjadi tersangka penjual WTP melalui Auditor BPK Ali Sadli, kepada pembeli Irjen Kemendes Sugito lewat perantara Jarot Budi Prabowo (pejabat eselon III Kemendes). Nilai transaksi jual-beli WTP itu Rp240 juta. Sebanyak Rp200 juta sudah dibayar awal Mei 2017, sisanya Rp40 juta saat OTT, uangnya sekaligus jadi barang bukti.
Untuk opini WTP laporan keuangan Kemendes yang mengelola dana desa puluhan triliun itu dihargai Rp240 juta, predikat WTP itu mungkin bisa digolongkan dijual obral murah meriah. Dengan obral murah meriah itu, untuk laporan keuangan kabupaten/kota yang nilai APBD daerahnya cuma sekitar Rp1 triliun, tentu harganya lebih terjangkau. Dengan harga terjangkau itu daerah yang keuangannya dari luar terkesan kacau, banyak menunggak kian-kemari, setiap tahun selalu berhasil meraih predikat WTP.
Namun, perlu diingat, sesuai dengan tema tulisan, semua itu hanyalah mitos. Mitos itu pra-anggapan yang mengesan kuat atau terpatri dalam benak orang. Mitos itu seperti keberadaan hantu di pohon besar simpang empat ujung kampung. Bulu kuduk merinding setiap lewat situ, ada yang membunyikan lonceng sepeda agar kalau hantunya sedang bermain minggir.
Mitos juga pra-anggapan seperti yang bisa terbentuk oleh iklan yang tayang intens. Semisal susu formula dimitoskan oleh iklan kandungannya sama dengan ASI, bisa saja orang beranggapan seperti itu, tetapi realitasnya tentu berbeda.
Begitulah mitos. Dalam kasus ini, yang jadi iklannya justru praktik jual obral murah-meriah WTP oleh auditor BPK yang tertangkap tangan oleh KPK. Iklan itu bakal tayang intens saat diproses dan sidang pengadilan.
Namun, apakah mitos itu benar atau tidak, sepenuhnya bergantung pada auditor dan pejabat BPK. Mereka yang bisa memastikan, mitos itu cuma hantu di siang bolong. ***
Dalam kasus ini auditor utama BPK, Rochmadi Saptogiri, menjadi tersangka penjual WTP melalui Auditor BPK Ali Sadli, kepada pembeli Irjen Kemendes Sugito lewat perantara Jarot Budi Prabowo (pejabat eselon III Kemendes). Nilai transaksi jual-beli WTP itu Rp240 juta. Sebanyak Rp200 juta sudah dibayar awal Mei 2017, sisanya Rp40 juta saat OTT, uangnya sekaligus jadi barang bukti.
Untuk opini WTP laporan keuangan Kemendes yang mengelola dana desa puluhan triliun itu dihargai Rp240 juta, predikat WTP itu mungkin bisa digolongkan dijual obral murah meriah. Dengan obral murah meriah itu, untuk laporan keuangan kabupaten/kota yang nilai APBD daerahnya cuma sekitar Rp1 triliun, tentu harganya lebih terjangkau. Dengan harga terjangkau itu daerah yang keuangannya dari luar terkesan kacau, banyak menunggak kian-kemari, setiap tahun selalu berhasil meraih predikat WTP.
Namun, perlu diingat, sesuai dengan tema tulisan, semua itu hanyalah mitos. Mitos itu pra-anggapan yang mengesan kuat atau terpatri dalam benak orang. Mitos itu seperti keberadaan hantu di pohon besar simpang empat ujung kampung. Bulu kuduk merinding setiap lewat situ, ada yang membunyikan lonceng sepeda agar kalau hantunya sedang bermain minggir.
Mitos juga pra-anggapan seperti yang bisa terbentuk oleh iklan yang tayang intens. Semisal susu formula dimitoskan oleh iklan kandungannya sama dengan ASI, bisa saja orang beranggapan seperti itu, tetapi realitasnya tentu berbeda.
Begitulah mitos. Dalam kasus ini, yang jadi iklannya justru praktik jual obral murah-meriah WTP oleh auditor BPK yang tertangkap tangan oleh KPK. Iklan itu bakal tayang intens saat diproses dan sidang pengadilan.
Namun, apakah mitos itu benar atau tidak, sepenuhnya bergantung pada auditor dan pejabat BPK. Mereka yang bisa memastikan, mitos itu cuma hantu di siang bolong. ***
0 komentar:
Posting Komentar