HARI Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap 20 Mei, hari lahirnya organisasi Boedi Oetomo 109 tahun lalu, semestinya menjadi penyulut semangat kaum muda untuk berperan aktif memajukan bangsa. Sebab, Soetomo saat bersama teman-temannya murid STOVIA mendirikan organisasi Boedi Oetomo, baru berusia 20 tahun.Organisasi yang didirikan para belia itulah kemudian diakui sebagai awal kebangkitan nasionalisme bangsa Indonesia.
Saat berusia 19 tahun, Soetomo bertemu dokter Wahidin Soedirohoesodo yang mampir ke STOVIA. Wahidin saat itu berusia 50 tahun, pensiun dari jabatan dokter pemerintah. Ia gencar mengampanyekan bantuan biaya pendidikan (studie fonds/sejenis beasiswa) bagi para pemuda pandai dari kalangan tidak mampu. Ia sarankan para pemuda di STOVIA mendirikan organisasi yang bertujuan memperluas akses pendidikan masyarakat.
Setahun kemudian, 20 Mei 1908, lahirlah organisasi Boedi Oetomo. (Asvi Warman Adam, 2010/detiknews, 19/5/2017) Soetomo kemudian yakin bahwa saran Wahidin setahun lalu benar. Ide penggalangan dana pendidikan itu kemudian terealisasi di 1913. Apa yang dicita-citakan Wahidin pun terwujud.
Kalau pemuda belia zaman yang kondisinya masih serbaterbatas dan tertindas itu bisa merealisasikan gagasan yang sedemikian relevan bagi masa depan bangsanya, kaum muda masa kini dengan suasana merdeka didukung berbagai fasilitas yang memudahkan kehidupan, semestinya bisa merealisasikan yang jauh relevan lagi bagi masa depan bangsa. Namun nyatanya, banyak yang malah hanyut dalam keasyikan menebar hoax, ujaran kebencian, dan bahkan fitnah.
Salah satu penyebabnya mungkin karena sistem pendidikan negeri kita seperti pabrik, memasukkan segala macam bahan baku untuk digodok dalam sebuah kuali yang sama, dengan bumbu dan ramuan yang sama pula. Pelajaran sama dengan soal ujian yang sama, dilaksanakan serentak pula. Bayangkan bagaimana kita bisa mengharapkan suatu produk khas yang istimewa dari proses yang gebyah uyah begitu.
Namun, sebagai bangsa yang besar kita tetap butuh barisan kaum muda yang sangat istimewa seperti Soetomo dan kawan-kawan di zamannya. Bukan barisan kaum muda yang terombang-ambing hanyut dalam keasyikan bermain hoax, ujaran kebencian, dan fitnah.
Untuk itu, sudah bukan pada tempatnya kita berbangga dengan sistem pendidikan nasional yang ada. Perlu banyak inovasi meningkatkan relevansi sistem pendidikan kita pada tuntutan zaman, keanekaragaman, dan orientasinya ke masa depan. ***
Saat berusia 19 tahun, Soetomo bertemu dokter Wahidin Soedirohoesodo yang mampir ke STOVIA. Wahidin saat itu berusia 50 tahun, pensiun dari jabatan dokter pemerintah. Ia gencar mengampanyekan bantuan biaya pendidikan (studie fonds/sejenis beasiswa) bagi para pemuda pandai dari kalangan tidak mampu. Ia sarankan para pemuda di STOVIA mendirikan organisasi yang bertujuan memperluas akses pendidikan masyarakat.
Setahun kemudian, 20 Mei 1908, lahirlah organisasi Boedi Oetomo. (Asvi Warman Adam, 2010/detiknews, 19/5/2017) Soetomo kemudian yakin bahwa saran Wahidin setahun lalu benar. Ide penggalangan dana pendidikan itu kemudian terealisasi di 1913. Apa yang dicita-citakan Wahidin pun terwujud.
Kalau pemuda belia zaman yang kondisinya masih serbaterbatas dan tertindas itu bisa merealisasikan gagasan yang sedemikian relevan bagi masa depan bangsanya, kaum muda masa kini dengan suasana merdeka didukung berbagai fasilitas yang memudahkan kehidupan, semestinya bisa merealisasikan yang jauh relevan lagi bagi masa depan bangsa. Namun nyatanya, banyak yang malah hanyut dalam keasyikan menebar hoax, ujaran kebencian, dan bahkan fitnah.
Salah satu penyebabnya mungkin karena sistem pendidikan negeri kita seperti pabrik, memasukkan segala macam bahan baku untuk digodok dalam sebuah kuali yang sama, dengan bumbu dan ramuan yang sama pula. Pelajaran sama dengan soal ujian yang sama, dilaksanakan serentak pula. Bayangkan bagaimana kita bisa mengharapkan suatu produk khas yang istimewa dari proses yang gebyah uyah begitu.
Namun, sebagai bangsa yang besar kita tetap butuh barisan kaum muda yang sangat istimewa seperti Soetomo dan kawan-kawan di zamannya. Bukan barisan kaum muda yang terombang-ambing hanyut dalam keasyikan bermain hoax, ujaran kebencian, dan fitnah.
Untuk itu, sudah bukan pada tempatnya kita berbangga dengan sistem pendidikan nasional yang ada. Perlu banyak inovasi meningkatkan relevansi sistem pendidikan kita pada tuntutan zaman, keanekaragaman, dan orientasinya ke masa depan. ***
0 komentar:
Posting Komentar