Lonjakan harga beras yang gagal ditekan oleh operasi pasar (Lampung Post, 13/1) telah membungkam retorika yang cenderung berlebihan. Salah satu retorika berlebihan itu ekspor beras 25 ton ke Malaysia (detik-finance, 20/10/2017). Ekspor beras 25 ton itu bisa disebut retorika karena realitasnya pemerintah terakhir memutuskan impor beras 500 ribu ton dari Vietnam. (Kompas.com, 13/1)
Selain bisa digolongkan retorika berlebihan, juga sebagai upaya menutupi kebolongan kinerja Kementerian Pertanian dilihat dari realitas defisit luas tanam padi 413.727 ha pada 2017, yakni hanya 4.827.872 ha, dibanding 5.241.597 ha luas tanam padi pada 2016.
Itu bisa menyebabkan kelangkaan pasokan beras ke pasar yang cukup signifikan. Apalagi Bulog juga serapan gabah petaninya jauh dari target 2017 sebesar 3,7 juta ton, hanya terserap 2,1 juta ton. (Kompas.com 3/1)
Jadi harga beras sebenarnya tidak pantas bergejolak dan tak perlu impor beras sebanyak setengah juta ton, kalau para pejabat di kementerian pertanian dan Bulog tidak bermain-main menutupi kelemahan mereka dengan retorika surplus pangan.
Akibat kegemaran para pejabat bermain retorika itu, rakyat yang berpenghasilan rendah menderita, harus membeli beras dengan harga amat mahal. Padahal selama ini pembelian beras merupakan jenis pengeluaran terbesar masyarakat lapisan terbawah. Apalagi beras sejahtera (rastra), menurut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, baru akan dibagikan tanggal 25. (Kompas.com, 4/1)
Bisa dibayangkan betapa kelabakannya warga miskin berpenghasilan rendah dengan lonjakan harga beras tersebut. Meski akhirnya kelak masalahnya bisa diatasi dengan operasi pasar dan impor beras, entakan penderitaan warga miskin itu sebenarnya tak perlu terjadi jika para pejabat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik, tidak terbiasa bermain retorika.
Untuk mengatasi penderitaan warga miskin tersebut, selain melakukan operasi pasar, sudah menjadi keharusan Bulog segera mendistribusikan secara gratis rastra hari ini juga langsung kepada mustahaknya, tidak menunggu rakyat miskin memilin perutnya yang lapar sampai tanggal 25.
Untuk selanjutnya, rastra dibagikan secara gratis karena dengan sistem tebusan seperti selama ini, banyak warga miskin yang tidak punya uang terpaksa menebusnya pakai uang investor untuk kemudian rastra yang ditebus dibagi dua. Alhasil warga miskin hanya menerima separuh rastra yang disubsidi pemerintah. ***
Jadi harga beras sebenarnya tidak pantas bergejolak dan tak perlu impor beras sebanyak setengah juta ton, kalau para pejabat di kementerian pertanian dan Bulog tidak bermain-main menutupi kelemahan mereka dengan retorika surplus pangan.
Akibat kegemaran para pejabat bermain retorika itu, rakyat yang berpenghasilan rendah menderita, harus membeli beras dengan harga amat mahal. Padahal selama ini pembelian beras merupakan jenis pengeluaran terbesar masyarakat lapisan terbawah. Apalagi beras sejahtera (rastra), menurut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, baru akan dibagikan tanggal 25. (Kompas.com, 4/1)
Bisa dibayangkan betapa kelabakannya warga miskin berpenghasilan rendah dengan lonjakan harga beras tersebut. Meski akhirnya kelak masalahnya bisa diatasi dengan operasi pasar dan impor beras, entakan penderitaan warga miskin itu sebenarnya tak perlu terjadi jika para pejabat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik, tidak terbiasa bermain retorika.
Untuk mengatasi penderitaan warga miskin tersebut, selain melakukan operasi pasar, sudah menjadi keharusan Bulog segera mendistribusikan secara gratis rastra hari ini juga langsung kepada mustahaknya, tidak menunggu rakyat miskin memilin perutnya yang lapar sampai tanggal 25.
Untuk selanjutnya, rastra dibagikan secara gratis karena dengan sistem tebusan seperti selama ini, banyak warga miskin yang tidak punya uang terpaksa menebusnya pakai uang investor untuk kemudian rastra yang ditebus dibagi dua. Alhasil warga miskin hanya menerima separuh rastra yang disubsidi pemerintah. ***
0 komentar:
Posting Komentar