USAI vonis MK Selasa (11/1) yang menolak uji materi Pasal 222 UU Nomor 7/2017 terkait presidential threshold 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional Pemilu 2014 untuk setiap pasangan calon di pilpres, diprediksi Pilpres 2019 bakal seru! Pasalnya, dengan syarat dukungan yang setinggi itu, jumlah pasangan yang bisa ikut pilpres makin terbatas, hingga persaingan menjadi makin sengit.
Dengan minimum syarat dukungan 20%, akan selalu ada sekian persen pula di belakang koma, paling banyak peserta pilpres empat pasang. Bahkan kalau salah satu pasangan memborong banyak partai hingga menjadi lebih dari 60%, pesertanya bisa hanya dua pasang seperti Pilpres 2014.
Pada Pilpres 2014 pasangan Jokowi-JK justru membentuk koalisi ramping, PDIP, NasDem, PKB, dan Hanura yang kurang dari 40%. Akibatnya saat pengisian pimpinan DPR semua jabatan struktural di DPR dikuasai koalisi gemuk yang saat itu mendukung pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. Pengalaman lemah di parlemen setelah menang pilpres itu, membuat Jokowi-JK selanjutnya membangun koalisi gemuk untuk mengurangi tekanan parlemen.
Koalisi gemuk pendukung pemerintahan Jokowi-JK yang terbentuk belakangan, terdiri dari PDIP, NasDem, PKB, Hanura, PPP, Golkar, dan PAN yang mengakomodasi 68,9% kursi DPR, agaknya bisa berlanjut ke pilpres. Di sisi lain ada Gerindra dan PKS yang dengan 20,1% kursi DPR sudah cukup untuk mengusung capres Prabowo Subianto.
Kalau pun ada perubahan mungkin PAN keluar dari koalisi gemuk, seperti di Pilkada serentak 2018 PAN lincah sekali, tapi belum tentu mengalihkan dukungan ke Prabowo. Bisa saja jadi partai pengimbang seperti Partai Demokrat. Atau bisa saja bersama Partai Demokrat (10,9% kursi DPR), PAN (8,6% kursi DPR) membentuk poros ketiga dengan menarik salah satu partai lagi dari koalisi gemuk.
Kemungkinan ini tak tertutup, terutama jika Demorkrat berusaha mengusung kadernya sebagai capres. Kemungkinan terakhir ini menjadikan Pilpres 2019 lebih seru, karena akan memecah gelombang massa pemilih yang sebelumnya dalam Pilpres 2014 terbagi dua nyaris sama besarnya, dengan munculnya gelombang massa ketiga pasti akan mengurangi besarnya kedua gelombang. Gelombang mana yang bakal tergerus signifikan, di situ letak lebih serunya.
Aneka kemungkinan yang bisa terjadi seusai vonis MK terkait presidential threshold itu, mendorong konsolidasi parpol untuk pilpres bisa berlangsung lebih cepat, tidak menunggu Pilkada serentak 2018 selesai. ***
Pada Pilpres 2014 pasangan Jokowi-JK justru membentuk koalisi ramping, PDIP, NasDem, PKB, dan Hanura yang kurang dari 40%. Akibatnya saat pengisian pimpinan DPR semua jabatan struktural di DPR dikuasai koalisi gemuk yang saat itu mendukung pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. Pengalaman lemah di parlemen setelah menang pilpres itu, membuat Jokowi-JK selanjutnya membangun koalisi gemuk untuk mengurangi tekanan parlemen.
Koalisi gemuk pendukung pemerintahan Jokowi-JK yang terbentuk belakangan, terdiri dari PDIP, NasDem, PKB, Hanura, PPP, Golkar, dan PAN yang mengakomodasi 68,9% kursi DPR, agaknya bisa berlanjut ke pilpres. Di sisi lain ada Gerindra dan PKS yang dengan 20,1% kursi DPR sudah cukup untuk mengusung capres Prabowo Subianto.
Kalau pun ada perubahan mungkin PAN keluar dari koalisi gemuk, seperti di Pilkada serentak 2018 PAN lincah sekali, tapi belum tentu mengalihkan dukungan ke Prabowo. Bisa saja jadi partai pengimbang seperti Partai Demokrat. Atau bisa saja bersama Partai Demokrat (10,9% kursi DPR), PAN (8,6% kursi DPR) membentuk poros ketiga dengan menarik salah satu partai lagi dari koalisi gemuk.
Kemungkinan ini tak tertutup, terutama jika Demorkrat berusaha mengusung kadernya sebagai capres. Kemungkinan terakhir ini menjadikan Pilpres 2019 lebih seru, karena akan memecah gelombang massa pemilih yang sebelumnya dalam Pilpres 2014 terbagi dua nyaris sama besarnya, dengan munculnya gelombang massa ketiga pasti akan mengurangi besarnya kedua gelombang. Gelombang mana yang bakal tergerus signifikan, di situ letak lebih serunya.
Aneka kemungkinan yang bisa terjadi seusai vonis MK terkait presidential threshold itu, mendorong konsolidasi parpol untuk pilpres bisa berlangsung lebih cepat, tidak menunggu Pilkada serentak 2018 selesai. ***
0 komentar:
Posting Komentar