KOMISI
Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan para calon kepala daerah dalam
Pilkada serentak 2018 untuk tidak terlibat politik uang. KPK bekerja
sama dengan Polri telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Antipolitik
Uang.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarief mengatakan KPK dan polisi sepakat untuk saling bertukar informasi terkait indikasi politik uang.
Selama proses politik uang dan mahar politik memenuhi unsur tindak pidana korupsi pasti KPK bisa menanganinya, ujar Laode. Sedang jika ada pengaduan masyarakat berhubungan dengan tindak pidana terkait pilkada, akan disampaikan ke pihak Polri untuk diselesaikan sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Kepolisian juga telah bekerja sama dengan KPU dan Bawaslu. (meterotvnews, 17/1)
Pembentukan Satgas Antipolitik Uang oleh KPK dan Polri yang bertujuan mengakhiri sejarah praktik "wani piro" dalam pilkada, tentu akan bekerja canggih seperti yang sering dilakukan dalam operasi tangkap tangan (OTT) selama ini. Kalau praktik korupsi yang licik dan licin saja bisa dijerat dengan OTT, konon lagi praktik "wani piro" yang lebih sederhana. Hampir pasti, bakal dengan mudah praktik "wani piro" digulung Satgas KPK dan Polri.
Namun, untuk Pilgub Lampung tampaknya para petarungnya telah mengantisipasi bakal kerasnya tekanan terhadap praktik "wani piro" dari KPK dan Polri itu. Hal itu terlihat dari sibuknya setiap tim sukses manyusun barisan pengerah massa yang memiliki akses langsung ke akar rumput. Sehingga, banyak tokoh pengerah massa dimaksud yang tersedot keluar dari garis dukungan partainya.
Terakhir misalnya, Saad Sobari dari PAN membentuk barisan relawan pendukung pasangan Ridho-Bachtiar. Padahal partainya, PAN, secara resmi mendukung pasangan Arinal-Nunik. Sebelumnya beberapa kader partai lain juga tersedot mendukung cagub yang tidak diusung partainya. Semua itu juga bisa dibaca sebagai antisipasi pengerahan massa langsung mengatasi bakal sukarnya praktek "wani piro".
Sejauh mana sebenarnya kemampuan para tokoh yang menyeberang dari dukungan partainya itu mengerahkan pilihan massa ke calon yang mereka dukung? Syahidan Mh, mantan Ketua PKB Lampung Selatan, lewat akun facebook-nya (17/1/2018) meragukan keoptimalannya. Tapi dia juga meragukan massa akar rumput menyimak program yang ditawarkan cagub. Dia malah menilai, pilihan massa masih tergantung pada nilai "wani piro" terbesar.
Nah, KPK dan Polri perlu kampanye, pemberi dan penerima "wani piro" bisa masuk bui. ***
http://www.lampost.co/berita-satgas-akhiri-sejarah-wani-piro
Wakil Ketua KPK Laode M Syarief mengatakan KPK dan polisi sepakat untuk saling bertukar informasi terkait indikasi politik uang.
Selama proses politik uang dan mahar politik memenuhi unsur tindak pidana korupsi pasti KPK bisa menanganinya, ujar Laode. Sedang jika ada pengaduan masyarakat berhubungan dengan tindak pidana terkait pilkada, akan disampaikan ke pihak Polri untuk diselesaikan sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Kepolisian juga telah bekerja sama dengan KPU dan Bawaslu. (meterotvnews, 17/1)
Pembentukan Satgas Antipolitik Uang oleh KPK dan Polri yang bertujuan mengakhiri sejarah praktik "wani piro" dalam pilkada, tentu akan bekerja canggih seperti yang sering dilakukan dalam operasi tangkap tangan (OTT) selama ini. Kalau praktik korupsi yang licik dan licin saja bisa dijerat dengan OTT, konon lagi praktik "wani piro" yang lebih sederhana. Hampir pasti, bakal dengan mudah praktik "wani piro" digulung Satgas KPK dan Polri.
Namun, untuk Pilgub Lampung tampaknya para petarungnya telah mengantisipasi bakal kerasnya tekanan terhadap praktik "wani piro" dari KPK dan Polri itu. Hal itu terlihat dari sibuknya setiap tim sukses manyusun barisan pengerah massa yang memiliki akses langsung ke akar rumput. Sehingga, banyak tokoh pengerah massa dimaksud yang tersedot keluar dari garis dukungan partainya.
Terakhir misalnya, Saad Sobari dari PAN membentuk barisan relawan pendukung pasangan Ridho-Bachtiar. Padahal partainya, PAN, secara resmi mendukung pasangan Arinal-Nunik. Sebelumnya beberapa kader partai lain juga tersedot mendukung cagub yang tidak diusung partainya. Semua itu juga bisa dibaca sebagai antisipasi pengerahan massa langsung mengatasi bakal sukarnya praktek "wani piro".
Sejauh mana sebenarnya kemampuan para tokoh yang menyeberang dari dukungan partainya itu mengerahkan pilihan massa ke calon yang mereka dukung? Syahidan Mh, mantan Ketua PKB Lampung Selatan, lewat akun facebook-nya (17/1/2018) meragukan keoptimalannya. Tapi dia juga meragukan massa akar rumput menyimak program yang ditawarkan cagub. Dia malah menilai, pilihan massa masih tergantung pada nilai "wani piro" terbesar.
Nah, KPK dan Polri perlu kampanye, pemberi dan penerima "wani piro" bisa masuk bui. ***
http://www.lampost.co/berita-satgas-akhiri-sejarah-wani-piro
0 komentar:
Posting Komentar