Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Jebakan Demokrasi Transaksional!

KETUA Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo menyatakan Indonesia saat ini masih menganut demokrasi yang bersifat prosedural dan transaksional. Menurut dia, butuh kerja keras dari elemen bangsa agar demokrasi kita mengarah pada esensial dan substansial.

"Banyak yang menyebut ini adalah demokrasi prosedural dan transaksional. Esensi dan substansi demokrasinya sendiri belum kita dapatkan," ujar Agus di Jakarta, Kamis. (metrotvnews.com, 25/1/2018) Agus menyebut tingginya biaya politik menjadi salah satu penyebab demokrasi Indonesia belum berhaluan ke demokrasi substansial.

"Bayangkan saja (untuk) menjadi bupati perlu sekian puluh miliar dan menjadi gubernur perlu sekian ratus miliar," tukas Agus. Akibat mahar politik itu, jelas Agus, anak bangsa yang berkompeten dan berintegritas menjadi pemimpin harus tersisih karena tidak memiliki kesempatan mengikuti kontestasi politik tersebut. Dengan biaya yang mahal itu, kata Agus, calon mencari sumber dana ke pengusaha atau pihak swasta lainnya. Ketika terpilih, ia harus mengembalikan itu dengan berbagai cara. Salah satunya lewat korupsi dengan berbagai bentuknya. 

 

Selain mahar, kemahalan biaya kontestasi politik juga untuk sosialisasi meningkatkan popularitas dan elektabilitas, hingga memastikan pilihan pada hari-hari terakhir menjelang pencoblosan. "Perjuangan" di hari-hari terakhir inilah klimaks pertarungan di lapangan, saat pemilih menimbang siapa calon paling "berbobot". 

 

Nyaris segala hal terkait proses politik dalam pilkada itu terputar oleh kekuatan uang. Proses politik sedemikian melembaga sepanjang meraih, mempertahankan dan mewariskan kekuasaan. Proses pusaran kausalitas (sebab-akibat) itu bermetamorfosis menjadi jebakan demokrasi transaksional.

Disebut jebakan karena sebenarnya posisi ini hanyalah tahapan proses menuju demokrasi yang diidealkan. Tapi di posisi tersebut ada "oyot mimang", dalam perjalanan di hutan orang yang melangkahinya akan berputar-putar di kawasan itu terus.

 Jadi tak tahu jalan keluar dari belantara demokrasi transaksional. Tentu saja ada jalan keluar dari belantara demokrasi transaksional. Tapi bagi orang yang sudah kena pengaruh "oyot mimang", tak mudah disadarkan. Harus ada pawang yang membimbing untuk keluar dari lingkaran sesat tersebut.

Mungkin pawang dimaksud KPK, yang lewat OTT menghabisi demokrasi transaksional. Sehingga, orang takut melakukannya dan demokrasi esensial yang substansial hadir sebagai alternatif. ***

0 komentar: