BUPATI Cirebon Sunjaya Purwadisastra kena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat jual-beli jabatan. Jabatan camat, tarifnya Rp50 juta. Barang bukti yang disita hasil jual beli jabatan Rp385 juta, dan bukti transfer fee proyek atas nama orang lain Rp6,4 miliar. Jabatan diperjualbelikan secara murah meriah. Dibanding untuk perlengkapan kampanye calon kepala desa saja bisa habis lebih banyak dari harga jabatan camat tersebut. Atau mungkin harga jabatan sesuai dengan nilai supply-demand-nya. Adanya jual-beli jabatan pelayanan publik ini jelas berbahaya. Pasti merugikan masyarakat. Berbahaya, karena jabatan yang semestinya pelayan masyarakat itu, setelah dibeli bisa dianggap telah menjadi milik pribadi. Sebagai milik pribadi, penggunaan jabatannya bukan lagi untuk pelayan publik, melainkan lebih untuk melayani atau memenuhi kepentingan pribadi sang pejabat semata. Akibatnya, pelaksanaan tugas pelayanan publik jadi pseudomatis, hanya seolah-olah melayani publik. Padahal, sebenarnya jabatan tersebut telah disalahgunakan untuk lebih memuaskan kepentingan pribadi sang pejabat. Lebih buruk lagi, kalau dana pengeluaran untuk pembelian jabatan tersebut dianggap sebagai modal. Bukan saja harus kembali, melainkan juga harus mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Tuntutan meraih untung sebesar-besarnya ini juga untuk bisa mempertahankan jabatan tersebut. Supaya tidak keburu dimutasi ke jabatan "kering", juga perlu "menjaga hubungan baik" dengan atasan sang penentu. Masalahnya, di tempat di mana jabatan diperjualbeljkan, juga untuk selanjutnya ada semacam persewaan jabatan. Jika sewa jabatan tersebut tidak dilunasi dalam waktu tertentu, dengan mudah dimutasi. Oleh karena itu, mutasi yang cukup frekuen dilakukan pada suatu kantor pemerintahan daerah, bisa menjadi momok bagi para pejabat. Sekaligus, mendorongnya untuk tahu diri, ada penguasa di atasnya yang mengatur jabatan yang didudukinya tersebut. Kalau cuek pada kekuasaan penentu jabatannya itu, tak perlu lama ia menunggu dimutasi. Proses jual-beli jabatan bisa secara kasar dengan patokan harga tegas sebuah jabatan, juga bisa cara halus dengan ancaman mutasi bagi yang lambat setor "sewa" jabatannya. Tapi model yang mana pun itu, membuat orang yang tidak kompeten menduduki suatu jabatan. Akibatnya, tugas pelayanan publik yang sepele pun, seperti merekam data KTP warga, bisa tidak selesai bertahun-tahun. Rakyat selalu jadi korban. ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar