PRESIDEN Jokowi membuat rakyat mudah mengenali politikus yang suka menebar hoaks, fitnah, ujaran kebencian, memecah belah bangsa dan memprovokasi, dengan menyebutnya politikus sontoloyo. Itu ia kemukakan saat membagi sertifikat tanah gratis di Jakarta Selatan dan usai membuka pameran dagang di Serpong, pekan lalu. Dengan itu rakyat jadi lebih mudah bersikap jika ada politikus mengobral hoaks, fitnah, ujaran kebencian, memprovokasi, cukup melabelinya dalam hati: politikus sontoloyo! Setelah itu terserah rakyat, misalnya kalau politikus sontoloyo itu muncul di berita televisi, cukup pindah saluran dan tak perlu komentar. Dengan kemudahan mengenali dan melabeli politikus sontoloyo itu, orang tak lagi mudah terpancing emosinya mendengar bicara yang mengentak-entak hingga ngos-ngosan dari politikus. Cukup segera memaklumi, dasar politikus sontoloyo, ya memang begitu. Ucapan politikus sekeras apa pun dengan begitu akan dianggap angin lalu saja. Tak mengganggu pikiran lagi, apalagi mengendap di hati. Perasaan jadi tenang dan tenteram. Artinya, rakyat cukup cuek bebek menghadapi politikus sontoloyo. Terutama ketika ada yang memprovokasi, dengan cara apa dan bagaimanapun, hindari dan kalau bisa jauhi saja. Sebab, setiap yang terprovokasi bisa menjadi korban konyol, sedang provokatornya kabur dan tak mudah dicari jejaknya. Kalau ada provokasi mendekati kita, biarkan hingga yang berwajib menindaknya. Kalau yang berwajib tidak "ngeh" dengan provokasi itu, ingatkan atau beri tahu bahwa sesuatu itu provokasi yang berbahaya. Dengan sikap rakyat yang dingin, bahkan beku terhadap politikus sontoloyo, sebagian politikus tentu akan dengan sendirinya menyadari, salah tingkahnya sudah tidak laku atau tidak bisa memengaruhi rakyat lagi. Sehingga, jika ia tak mau mengubah gayanya yang sudah basi itu, ia akan rugi sendiri, konstituennya berkurang. Lain hal jika melakukan itu sebagai strategi menarik pengikut, bahkan untuk itu dilakukan secara terencana dengan konsultan asing yang sering berhasil dengan cara itu memenangkan kontestasi di berbagai negara, tentu asumsinya masih harus diuji di bumi Pancasila yang masyarakatnya penuh sikap tenggang rasa ini. Cara memecah belah bangsa, fitnah, hoaks, dan provokasi memang dahulu pernah berhasil dipakai kaum penjajah untuk menguasai negeri ini. Tapi apakah bangsa yang sudah 73 tahun merdeka bisa ditaklukkan politikus sontoloyo dengan teori pecah belah, devide et impera? ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar