SURPLUSNYA neraca perdagangan September 2018 yang dirilis BPS Senin (15/10), menjadi sentimen positif bagi rupiah. Selasa, Rabu dan Kamis rupiah berlanjut menguat dari Senin Rp15.246 per dolar AS, menjadi Rp15.206 pada Selasa, lalu Rabu menjadi Rp15.178, dan seterusnya meninggalkan level Rp15.200. Seiring menguatnya rupiah, surplus neraca perdagangan September tersebut, menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira, juga memicu investor asing mulai masuk lagi ke bursa. Dalam sesi penutupan bursa Rabu net buy atau pembelian bersih asing mencapai Rp526,3 miliar. (Kompas.com, 17/10/2018) Dengan adanya pembelian saham oleh investor asing tersebut, permintaan untuk mata uang rupiah sebagai pembayarannya makin besar. Selain itu, lanjut Bhima, harga minyak acuan Brent juga turun menjadi 80,7 dolar AS per barel setelah sebelumnya sampai menembus 85 dolar AS per barel. "Turunnya harga minyak mentah berpengaruh terhadap defisit migas, dan potensi kenaikan harga BBM yang lebih agresif. Ujungnya inflasi masih bisa terkendali di sasaran 3,5% tahun ini," ujar Bhima. Tampak, surplus neraca perdagangan menjadi pintu masuk sentimen positif yang berantai, dari penguatan rupiah, masuknya arus besar net buy investor asing ke bursa saham dan juga tentu pasar obligasi dengan membawa fresh dollar, menurunnya defisit ekspor-impor BBM, sekaligus terjaminnya sasaran inflasi pada tingkat terendah pada akhir tahun. Namun ibarat orang yang baru sakit flu akibat buruknya iklim perekonomian dunia, pemulihan rupiah dan bursa saham masih perlu waktu, juga tak bisa dipaksakan. Untuk itu bisa dipahami jika Menteri Keuangan Sri Mulyani memilih membuat keseimbangan baru kurs rupiah pada Rp15.000 per dolar AS, sebagaimana ia ajukan untuk kurs patokan dalam APBN 2019. Karena, dengan begitu keseimbangan baru itu bisa segera tercapai dan tanpa harus membuang devisa terlalu banyak untuk menekan kurs dolar di pasar. Terpenting lagi, pencapaian keseimbangan baru itu tanpa lewat kejutan dan lonjakan yang bisa mengganggu stabilitas. Dengan tetap terjaganya stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian global hingga tahun depan, atau bisa lebih lama lagi, pertumbuhan ekonomi tetap terpelihara kontinuitasnya. Seiring dengan itu, negara tetap terkelola dengan baik seperti selama ini dengan semua dimensinya serba-prudent, sebagai prakondisi bagi meningkatkan terus kesejahteraan rakyat.
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar