HARGA minyak mentah dunia anjlok 20% atau ke titik terendah dari titik tertingginya bulan lalu. Pada perdagangan Selasa (13/11/2018) minyak mentah patokan Amerika Serikat (AS) West Texas Intermediate (WTI) turun menjadi 55,69 dolar AS/barel, hari itu saja anjlok 7,1% atau 4,24 dolar AS/barel. Demikian pula harga minyak Laut Utara Inggris, Brent, pada hari yang sama anjlok 6,1% atau 4,28 dolar AS/barel menjadi 65,84 dolar AS/barel. Anjloknya harga minyak mentah ini, menurut catatan CNBC, karena negara-negara produsen minyak yang tergabung dalam OPEC, Rusia, maupun AS meningkatkan produksi dan pasokan mereka. Ironisnya, Presiden Trump malah mendikte OPEC dan Arab Saudi untuk mempertahankan kebijakan mereka secara bertahap yang turut membantu menjaga harga minyak. Namun intervensi Trump ke OPEC itu tidak begitu berpengaruh terhadap Arab Saudi dan sekutunya di OPEC. Malah mendorong langkah OPEC makin tidak pasti. Mereka akan mengadakan pertemuan pekan depan, untuk kembali mempertimbangkan pemangkasan produksi seiring dengan jatuhnya harga minyak mentah dalam enam pekan terakhir. Dari pertemuan itu diperkirakan OPEC akan mengumumkan output terbaru produksinya. Sebelumnya OPEC telah merevisi perkiraan pertumbuhan permintaan minyak mentah tahun 2019. Mereka menyatakan peningkatan produksi dari negara-negara non-OPEC akan melebihi pertumbuhan permintaan minyak mentah tahun depan. "Revisi ke bawah baru-baru ini terhadap ramalan pertumbuhan ekonomi global dan ketidakpastian turut menegaskan tekanan yang muncul pada permintaan minyak dalam beberapa bulan terakhir," tegas OPEC. (Kompas.com, 14/11/2018) Anjloknya harga minyak dunia hingga 20% dalam enam pekan terakhir tentu menjadi kabar gembira bagi Indonesia yang kini telah menjadi net-importir migas. Turunnya harga migas akan meringankan neraca perdagangan yang sepanjang Januari—September 2018 telah mengalami defisit sebesar 3,78 miliar dolar. Defisit itu terjadi, menurut data BI terakhir, akibat sektor migas sepanjang periode tersebut mengalami defisit minus 9.375,5 juta dolar AS. Sementara sektor nonmigas mencapai surplus sebesar 5.593,8 juta dolar. Anjloknya harga migas akan memperkecil defisit neraca berjalan hingga akhir tahun. Juga, ikut memperkuat rupiah yang tengah bangkit kembali sejak pekan lalu. Adanya berbagai faktor positif yang mendukung penguatan rupiah, perekonomian akan menjadi lebih baik dan pertumbuhan yang berkualitas pun selalu terjaga.
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar