HARI Kamis (15/11/2018) Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengumumkan nilai impor Oktober 2018 melonjak 23,66% (yoy). Meski demikian, Jumat pagi esoknya rupiah justru menguat dan bertahan hingga sore pada pukul 14.00 WIB di level Rp14.537 per dolar AS. Rangkaian peristiwa itu menunjukkan ada saatnya keperkasaan rupiah tak terkalahkan oleh lonjakan impor. Tapi layak disimak lebih jauh latar belakang yang membuat rupiah menjadi sedemikian perkasa. Salah satu yang membuat otot rupiah menjadi begitu kokoh tentu karena jatuhnya harga minyak dunia hingga 20% pada pekan tersebut. Itu saja belum cukup. Selain harga minyak dunia turun, dari 17,62 miliar dolar AS impor pada Oktober 2018 itu, impor migasnya hanya 2,91 miliar dolar AS. Lebih kecil dari bulan-bulan sebelumnya, impor migas selalu di atas 3 miliar dolar AS. Jadi sudah pun harga minyak mulai November anjlok, nilai impor migas Oktober juga berhasil ditekan berkat penggantian solar impor dengan biodiesel sawit B20 di semua SPBU. Lantas ada apa pula dengan impor nonmigas yang mencapai 14,71 miliar dolar itu tidak bisa menghalangi penguatan rupiah? Karena dalam impor nonmigas Oktober 2018 itu yang tumbuh hingga 28,58% (yoy) adalah barang modal, dan tumbuh 23,10% (yoy) berupa bahan baku/penolong. Sedangkan barang konsumsi terendah, hanya tumbuh 20,04%. Mengenai pelolosan masuk barang-barang modal ini, utamanya mesin pembangkit listrik mengejar target pembangunan 35.000 Mw dalam lima tahun, karena banyak proyek yang sedang berjalan harus diselesaikan agar tidak menjadi proyek mangkrak. Menkeu Sri Mulyani sebelumnya menegaskan prioritas menjaga stabilitas pembangunan dan laju pertumbuhan menjadi pilihan dalam mengatur arus impor. Sedangkan bahan baku/penolong menjaga irama industri terutama ekspor nonmigas yang sebenarnya juga terus tumbuh. Pada Oktober 2018, ekspor nonmigas senilai 14,32 miliar dolar AS, tumbuh 4,99% dibanding dengan September 2018 atau 4,03% (yoy). Dari Januari hingga Oktober 2018, secara kumulatif ekspor mencapai 150,88 miliar dolar AS atau tumbuh 8,84% (yoy). Dengan turunnya harga minyak dunia dan mengecilnya defisit impor migas, diiringi arus transaksi modal dan investasi yang terus meningkat seperti dilaporkan BI (Kompas.com, 4/11), rajutannya akan memperkecil defisit neraca berjalan (current account deficit/CAD) di akhir tahun. Hal ini diharapkan lebih memperkuat lagi nilai tukar rupiah hingga ke tahun depan.
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar