WUJUD dan nilai kepahlawanan juga sesuai dengan kondisi masyarakat dan konteks zamannya. Pada zaman penjajahan, angkat senjata mengusir penjajah menjadi wujud kepahlawanan yang paling sesuai. Setelah merdeka, dan di zaman Post-modern alias Posmo dewasa ini, tentu tak terlepas dari ciri zamannya berupa minimalis dan hiper-realitas. Pada era posmo, orientasi berpikir manusia cenderung minimalis, sempit, terbatas pada pribadinya sendiri saja, dikenal dengan sebutan individualisme. Orang Jakarta mengekspresikannya dengan gaya "Elu-Elu, Gue-Gue." Maka itu, wujud dan nilai kepahlawanan di era Posmo hadir ketika seseorang bisa menguak sedikit kurungan individualistik dirinya untuk memberi angin bagi kepentingan lingkungan sosialnya. Menjadikan dirinya (sedikit) bermanfaat bagi orang lain. Lantas, zaman Posmo juga dikenal sebagai era komunikasi, sang individu yang telah memberi sedikit angin buat orang lain itu, berusaha memaksimalkan kemanfaatannya tersebut. Manusia Posmo melakukan itu lewat apa yang dikenal dengan hiper-realitas: mengekspose di media (massa maupun sosial). Pemberian angin yang sedikit itu dia ekpose secara intens (berulang-ulang). Dengan ekspose yang intens di media itu, angin yang sedikit atau jasa yang kecil itu pun menggelembung jadi terkesan amat besar. Hiper-realitas menciptakan mitos, semisal terbang dengan pesawat maskapai tertentu paling aman. Dengan hiper-realitas itu, orang yang jasanya sebenarnya amat kecil, tapi berkat tayangan media yang intens, dia tanpa malu lagi mengklaim dirinya pahlawan besar. Klaim itu dia kaitkan dengan kepentingan dirinya dalam kontestasi politik. Dengan pemberian satu kresek sembako, ia merasa dan mengklaim layak dipilih menjadi legislator atau eksekutif untuk masa kekuasaan lima tahun. Lebih celaka, dengan berlagak sebagai pahlawan bagi orang-orang yang dia janjikan akan dia perjuangkan nasibnya, dia mencari cara mendapatkan uang pengganti pembelian sembako yang telah ia bagikan. Mending kalau jumlah yang dia keruk besarnya sesuai dengan yang dia pakai membeli sembako. Nyatanya, ia merampas uang rakyat lewat kekuasaannya itu dengan jumlah yang amat jauh lebih besar. “Pahlawan minimalis” di zaman Posmo, selalu menempatkan dirinya di pusaran perjuangan nasib rakyat. Lewat hiper-realitas tayangan media, pengorbanan dan nilai perjuangnnya digelembungkan. Padahal ia sekadar mencari "jujul" atau "kembalian" yang lebih besar dari pengorbanannya yang sangat kecil itu.
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar