WALI Kota Bandar Lampung Herman HN mulai menata kotanya menjadi kota metropolitan. Langkah pertama untuk itu dengan membenahi trotoar Jalan Malahayati tembus ke Jalan Ikan Tongkol menjadi pedestrian selebar dua meter agar pejalan kaki aman dan nyaman waktu malam. Dengan itu kawasan Telukbetung bisa dikembangkan sebagai kawasan kuliner, menunjang kemajuan Bandar Lampung dalam pariwisata dewasa ini. Langkah baru itu sebagai kelanjutan program pembangunan Bandar Lampung yang selama ini memprioritaskan infrastruktur. Utamanya membangun jalan layang dan underpass di simpul-simpul kemacetan lalu lintas. Pelaksanaan semua program pembangunan kota menuju metropolitan itu tentu perlu dukungan masyarakat sebagai warga kota (citizen). Artinya, kalau kotanya berkembang menuju metropolitan, warganya juga mengembangkan gaya hidup metropolis. Gaya hidup metropolis itu jelas jauh berbeda dengan gaya hidup lama yang cenderung agak kumuh hingga kotanya diberi gelar kota besar terkotor di Indonesia oleh tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kondisi lingkungan tak bisa dilepaskan sebagai cerminan gaya hidup warganya. Kalau warga tidak gemar membuang sampah sembarangan, rajin gotong royong membersihkan got dan selokan hingga tak berbau busuk, tentu kotanya tak dapat predikat kota besar terkotor. Salah satu ciri gaya hidup metropolis, selalu taat pada aturan kota sehingga kota yang dihuni berjuta orang tampak tetap tertib dan nyaman. Selain itu, orangnya kepo, suka cari tahu apa yang terbaik bagi dirinya, guna selalu bisa menempatkan diri dalam situasi dan kondisi lingkungannya, serta menikmatinya. Lebih dari itu, kalau Wali Kota memulai langkah menuju metropolitan dengan mengurai simpul-simpul kemacetan karena orang metropolis mobilitasnya tinggi. Begitu tulis AB Susanto dalam bukunya Potret-Potret Gaya Hidup Metropolis (2001). Lalu suka bercengkerama melepas kepenatan kerja di malam hari. Jadi tepat, kalau Bandar Lampung menghidupkan kota di waktu malam dengan lokasi kuliner, sesuai dengan gaya hidup metropolis. Lalu suka yang serba-instan dan cepat. Selain restoran fast food, juga diekspresikan dengan kegandrungan pada teknologi, utamanya komunikasi. Masalahnya, kalau mau membangun kota metropolitan, semua fasilitas untuk gaya hidup metropolis harus disiapkan Pemkot, atau setidaknya mengarahkan swasta untuk memenuhinya. Pasti lebih repot dari upaya sekadar terlepas dari stigma kota besar terkotor.***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar