RUPIAH tegar memasuki tahun politik 2019 dengan tutup tahun 31 Desember 2018 pada kurs Rp14.455/dolar AS, menguat 0,69% dari pekan terakhir. Itu, menurut Tim Riset CNBC Indonesia (31/12) menempatkan apresiasi rupiah terhadap dolar AS tertinggi dari semua mata uang Asia, juga menguat 0,77% dari poundsterling dan 0,76% dari Swiss frank. Penguatan rupiah sejak akhir November 2018 meninggalkan level Rp15.200/dolar AS ke Rp14.500/dolar AS, depresiasi rupiah turun dari sebelummya di atas 10%. Tepatnya, dari 1 Januari 2018 Rp13.500/dolar AS menjadi Rp14.455/dolar AS pada 31 Desember 2018, depresiasi rupiah terhadap dolar AS sepanjang tahun sebesar 7,81% (ytd). Ini cukup baik untuk emerging market, dibanding dengan Turki dan Argentina yang lebih 20%. Pokok masalahnya, adakah peluang rupiah untuk menguat pada tahun politik? Langkah awal rupiah memasuki 2019 disambut sentimen positif dari bank investasi ternama AS, Morgan Stanley, yang menaikkan status Bursa Efek Indonesia (BEI) dari underweight menjadi overweight. Artinya, pasar saham Indonesia sangat layak untuk dimasuki. Masuknya kembali modal lewat pasar saham, akan mengatasi neraca berjalan dari defisit. Salah satu penyebab pelemahan rupiah karena banyak investor melakukan penjualan bersih selama 2018. Sampai Agustus saja Rp48 triliun keluar dari pasar saham, sebulan berikutnya Rp8,1 triliun. (katadata, 9/11/2018). Apa dasar Morgan Stanley memberi BEI status overweight? Sepanjang 2018 bursa global rontok. Di AS Dow Jones anjlok 5,6%, S&P 500 turun 6,2%, dan Nasdaq 3,9%. Di Eropa, FTSE London kehilangan 12%, DAX Frankfurt turun 18%. Di Asia, Shanghai Indeks merosot 24,6%, Shenzhen Composite anjlok hingga 34,25%, dan Hang Seng Hong Kong ambles 13,61%. Lalu indeks Nikkei Jepang jebol 12,1%. Sedangkan IHSG hanya minus 2,54% sepanjang 2018. Posisi pertahanan terbaik itu ditopang kondisi ekonomi nasional yang kondusif dengan fundamental yang tidak goyah diguncang ketakpastian global dan perang dagang, inflasi rendah. Pe-rating internasional Mody's, Fitch's, dan S&P pun tidak bergeser dari status layak investasi buat Indonesia. Sentimen positif lain bagi rupiah pada 2019 adalah tren penurunan harga minyak dunia. Sejak 3 Oktober hingga 28 Desember 2018 harga minyak jenis brent melorot 39,52%, akibat oversupply. Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan tren ini berlanjut di 2019 dengan produksi 101,84 juta bph melewati proyeksi permintaan 101,61 juta bph.***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar