MANTAN Menteri Keuangan M Chatib Basri, menganggap tekanan ekonomi 2018 lebih berat dari masa sebelumnya. Namun kondisi saat ini, Chatib menilai Indonesia lebih tahan banting. Padahal faktor tekanan eksternalnya lebih banyak, ditambah perang dagang AS dan negara mitra. "Ditambah ketidakpastian akibat kebijakan Trump. Secara personal saya melihat 2018 tahun yang berat sekali," ujar Chatib. (Kompas.com, 22/1/2018) Untungnya, kata Chatib, pemerintah bergerak cepat untuk mengatasi masalah tersebut melalui berbagai kebijakan. Salah satunya dengan beberapa kali menaikkan suku bunga Bank Indonesia hingga tujuh kali selama 2018 sebagai reaksi pelemahan rupiah. "Saya mesti bilang, seandainya fiskal telat disesuaikan, tidak ada langkah cepat, rupiah kita bisa lebih dari Rp15.200," kata Chatib. Di tengah kondisi tersebut, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh di atas 5% dan menjaga inflasi di level 3%. "Yang dilakukan pemerintah sampai defisit (APBN) hanya 1,76% itu luar biasa sekali," ujar Chatib. Tekanan eksternal 2018 jauh lebih besar daripada saat dia menjabat dulu 2013. Saat itu, penyebab gejolak ekonomi adalah rencana kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, The Fed. Padahal, saat itu baru wacana, belum ada kenaikan. "Selain itu, ketika itu harga minyak dunia juga tinggi sekitar 100 dolar AS per barel. Untuk menekan defisit, pemerintah terpaksa menaikkan harga bahan bakar minyak. Pertumbuhan ekonomi pun turun dari 6,1% menjadi 5,8%. Dengan kondisi ekonomi Indonesia yang tahan banting, menurut Chatib Basri itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan Indonesia tak perlu memitigasi beban utang seperti disarankan pada outlook Dana Moneter Internasional (IMF) di World Economic Forum, Davos, Swiss, pekan ini. IMF menyatakan perlu kerangka kerja makroprudensial yang kuat untuk mengatasi beban utang. Menurut Sri, mantan direktur eksekutif Bank Dunia itu, rasio utang Indonesia masih berada di level aman. Peringatan IMF itu hanya berlaku bagi negara-negara yang rasio utangnya tinggi. "Kan ada negara advanced country (negara maju), bahkan di Eropa yang debt to GDP ratio (rasio utang terhadap produk domestik bruto—PDB) itu sudah di atas 60, ada yang 80, bahkan 100%. Selain itu di negara berpendapatan rendah, ada lebih dari 40 negara yang utangnya sudah di atas 100%. "Indonesia, kalau Anda bandingkan, utang kita terhadap GDP masih di 30%," kata Sri Mulyani. "Untuk standar internasional itu rendah sekali." ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar