Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Negeri Rawan Bencana, Tiada Hari tanpa Gempa!

INDONESIA negeri rawan bencana, tiada hari tanpa gempa bumi. Menurut Daryono, kepala bidang informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), sehari bisa terjadi lebih dari 10 gempa. Itu karena wilayah Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng utama bumi, yaitu Eursia, Indoaustralia, dan Pasifik, yang setiap saat bisa terjadi tumbukan antarlempeng. "Dari tumbukan ini terimplikasi adanya sekitar enam tumbukan lempeng aktif yang berpotensi memicu terjadinya gempa kuat," ujar Daryono. "Wilayah Indonesia juga sangat kaya dengan sebaran patahan aktif atau sesar aktif. Ada lebih dari 200 yang sudah terpetakan dengan baik dan masih banyak yang belum terpetakan sehingga tidak heran jika wilayah Indonesia itu dalam sehari lebih dari 10 gempa yang terjadi," tambahnya. (Kompas.com, 7/8/2018) Patahan aktif tersebut, antara lain patahan besar Sumatera yang membelah dari Aceh sampai Lampung, sesar aktif di Jawa, Lembang, Yogyakarta, di utara Bali, Lombok, Sumbawa, NTT, Sulawesi, Sorong, dan Memberamo. Patahan Palu Koro penyebab gempa, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah September 2018. Kerawanan itu dilengkapi dengan posisi Indonesia di cincin api (ring of fire) dengan 127 gunung berapi aktif berbentuk tapal kuda sepanjang 40 ribu km yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi. Sekitar 81% dari gempa bumi terbesar terjadi di sepanjang cincin api tersebut. Sewaktu Surono masih aktif di Badan Geologi Kementerian ESDM, pengamatan kegiatan gunung api dilakukan, juga dengan bekerja sama dengan LIPI, Kemenristek, Japan Science and Technology (JST), dan JICA (juga Jepang) yang melakukan penelitian tentang gempa, tsunami, serta gunung api. Salah satu hasilnya, ada lima juta jiwa warga yang hidup di wilayah rentan bencana gunung api, yang harus mendapat perhatian khusus. Mungkin hasil-hasil penelitian mereka perlu disimak ulang untuk menghadapi tantangan kegempaan dan kegunungapian ke depan. Betapa buta terlihat petugas yang bertanggung jawab, dalam hal ini ketika Anak Krakatau memicu tsunami 22 Desember 2018. Padahal dari rangkaian penelitian yang ada, petunjuk sebenarnya sudah tersedia. Salah satunya hasil penelitian bahaya tsunami Gunung Anak Krakatau oleh Giachetti, Paris, Kelfoun, dan Ontowirjo dari Clermont Universite yang dipublikasi The Geological Society of London (2012), yang menyebutkan adanya 0,280 km3 dinding Anak Krakatau yang rawan longsor dan bisa memicu tsunami. ***

0 komentar: