BADAN Pusat Statistik (BPS) pekan lalu merilis defisit neraca perdagangan Desember sebesar 1,1 miliar dolar AS, sehingga defisit sepanjang 2018 menjadi 8,57 miliar dolar AS. Defisit ini terburuk sejak reformasi. Menurut Chatib Basri, salah satu penyebabnya terlalu banyak impor barang modal yang belum memberikan hasil karena senjang waktu proses produksi. Di sektor nonmigas sebenarnya surplus sebesar 3,8 miliar dolar AS pada 2018. Namun, di sektor migas terjadi defisit 12,4 miliar dolar AS, akibat harga minyak sempat menyentuh kisaran 75—85 dolar AS per barel. Impor migas Indonesia pun melonjak dari 24,3 miliar dolar AS pada 2017 menjadi 29,8 miliar dolar AS pada 2018. Di sisi impor nonmigas, menurut analisis mantan Menkeu Chatib Basri, 90% merupakan impor barang produktif bukan konsumsi. Ia pun mempertanyakan mengapa impor barang modal dan bahan baku naik terus, tapi pertumbuhan ekonomi tetap stagnan di 5%? "Soal waktu kah? Karena ada senjang waktu dalam proses produksi? Atau inefisiensi?" tukasnya. "Ini bisa disebabkan dua hal: Kita banyak sekali mengimpor barang modal dan bahan baku (untuk infrastruktur dan sebagainya) yang belum memberikan hasil (karena butuh waktu lagi) atau memang produktivitas kita rendah? Dan inilah isu terbesar kita: Produktivitas," ujar Chatib. (Kompas.com, 16/1/2018) Direktur Riset Centre of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan dengan defisit neraca perdagangan 2018 lebih buruk dari 2013 sebesar 4 miliar dolar AS, tantangan memperbaiki kinerja perdagangan di 2019 masih sangat besar. "Pertama, faktor-faktor eksternal yang menekan ekspor pada 2018, khususnya pelambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara tujuan ekspor utama dan sentimen perang dagang," ujar Piter. Kedua, harga komoditas andalan diprediksi akan terus melemah pada 2019, termasuk di antaranya sawit, batu bara, karet, dan tembaga. Ketiga, harga minyak yang kini sedang turun bisa kembali naik pada 2019, walau tidak melebihi rata-rata harga minyak pada 2018. Meskipun demikian, peluang memperbaiki kinerja perdagangan masih terbuka, setidaknya untuk memperkecil defisit, ujar Piter. Sejumlah kebijakan meredam impor perlu diefektifkan dan dipertajam, seperti PPh 22 impor untuk barang konsumsi, penggunaan biodiesel 20% (B20) untuk solar, hingga pemakaian tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Lalu, mendorong akselerasi ekspor manufaktur dengan mengefektifkan produksi pada kapasitas terpasang industri.***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar