SAYA sesak napas di kantor Jumat pagi lalu. Teman sekantor membawa saya ke rumah sakit (RS) swasta. Masuk ke ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD), saya dibaringkan di dipan, hidung langsung dicolok kabel oksigen yang tersambung ke dinding di atas kepala. Seorang dokter memeriksa dada dan perut dengan stetoskop, disusul perawat membawa segerobak alat pemeriksa jantung. Demikian banyak tentakelnya menjepit dada dan perut saya. Disusul berbagai alat yang saya dengar laporan ke dokternya terkait tekanan darah, kadar gula darah, dan lainnya. Usai pemeriksaan awal itu, petugas memberi tahu teman saya agar mendaftar ke bagian administrasi di depan. Teman saya meminta kartu BPJS Kesehatan saya untuk itu. Saya perhatikan, nyaris semua dipan di ruang IGD itu berisi pasien dan ditangani intensif seperti saya. Dari nguping hampir bisa dipastikan, semua pakai jasa BPJS Kesehatan. Seorang perawat datang membawa kursi roda. Saya berpikir, bakal dibawa ke ruang opname. Ternyata bukan. Kita ke rontgen dulu, Pak," ujar perawat. Saya pun turun dari dipan dan naik ke kursi roda. Dalam perjalanan ke ruang rontgen, lorong besar depan barisan kamar praktik dokter dipenuhi pasien. Saat kembali dari rontgen, dipan saya di IGD sudah diisi pasien baru. Saya dibawa ke ruang sebelah IGD yang berisi sejumlah pasien menunggu kamar kosong untuk opname. Hampir satu jam saya istirahat di situ, teman saya dipanggil dokter. Sambil membuka hasil rontgen di komputer dan data pemeriksaan peranti computerized tadi, dokter menyebutkan kondisi organ-organ tubuh saya yang diperiksa normal. Dia beri resep untuk mengambil obat di apotek RS itu, dan saya boleh pulang. Semua biaya berobat saya itu, ditanggung BPJS Kesehatan. Membeludaknya pasien BPJS dengan layanan medis yang demikian intensif, wajar jika defisit BPJS meningkat dari tahun ke tahun. Dari 2014 defisit Rp3,8 triliun, 2015 jadi Rp5,9 triliun, 2016 jadi Rp9 triliun, 2017 jadi Rp9,75 triliun, dan 2018 jadi Rp16,5 triliun. Naiknya terus defisit menunjukkan makin banyak rakyat yang dilayani BPJS Kesehatan. Tapi pemerintah tetap menoleransi defisit tersebut, demi layanan kesehatan yang lebih baik buat rakyat. Andalan utama mengatasi defisit tersebut adalah cukai rokok. Untuk menaikkan cukai rokok amat mungkin karena harga rokok di Indonesia masih sangat murah. Rokok buatan Indonesia yang di dalam negeri harganya di bawah Rp50 ribu, di Australia sebungkus 37 dolar Australia, Rp370 ribu. ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar