GERAKAN Arah Baru Indonesia (Garbi) tidak menginginkan adanya berbagai upaya untuk mendelegitimasi hasil Pemilu 2019. Penghormatan terhadap hasil Pemilu merupakan penghormatan suara rakyat. Hal itu dikemukakan Ketua Umum Garbi Sutriyono saat bersama pengurus lainnya bertemu Ketua DPR Bambang Soesatyo di Jakarta, pekan lalu. Untuk menutup ruang delegitimasi terhadap hasil Pemilu 2019, Garbi berharap adanya penguatan terhadap lembaga pemantau Pemilu. Baik dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun dari masyarakat sipil (civil society). Garbi ikut menjaga Pemilu 2019 agar berkualitas dan berintegritas. Ketua DPR Bambang Soesatyo menyambut baik sikap Garbi menolak segala upaya untuk mendelegitimasi Pemilu 2019. "Kita berharap pasca 17 April 2019 bangsa Indonesia tetap berada dalam satu naungan kebangsaan. Karenanya, kita harus antisipasi berbagai gejolak yang bisa merobek persaudaraan. Jika ada kelompok yang ingin melakukan upaya mendelegitimasi hasil Pemilu, artinya mereka sedang menjegal kedaulatan rakyat. Kita tak boleh biarkan hal itu terjadi," tegas Ketua DPR. Gelagat adanya upaya mendelegitimasi Pemilu 2019 memang terlihat. Seperti pernyataan meragukan kredibilitas dan integritas penyelenggara pemilu (KPU), juga pengerahan massa untuk mengaudit komputer KPU. Gelagat itu seperti yang dibaca Garbi, ada upaya untuk melakukan delegitimasi terhadap hasil Pemilu 2019. Disimak lebih lanjut, itu bukan saja dilakukan untuk tidak mengakui hasil Pemilu, malah bisa menyulut kekacauan dengan kerusuhan massal di seantero negeri. Kekacauan itu bahkan digemborkan sebagai Armagedon, yang berarti kiamat atau Indonesia punah. Garbi benar, untuk menangkal upaya yang terkesan seolah sudah terancang itu, salah satunya dengan pengawasan yang baik pada pelaksanaan Pemilu. Utamanya di TPS, bukan saja demi terwujudnya jurdil, tapi juga mengamankan TPS dari orang yang mungkin datang hanya untuk membuat kerusuhan. Untuk melakukan kecurangan dalam Pemilu seperti kecurigaan yang ditebar, di zaman now sebenarnya tidak mungkin. Apalagi kalau contoh kecurangannya zaman Orde Baru. Di TPS saksi semua partai kini sangat cermat, diperkuat para pemantau independen, dan warga setempat. Jadi mustahil bisa curang di TPS. Dalam proses selanjutnya, setiap partai punya data hasil dari semua TPS, lalu secara fisik dihitung ulang bersama. Jelas penyelenggara tak bisa melakukan penghitungan dan mengunggah data sembarangan ke komputer.
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar