NALAR dipahami masyarakat kebanyakan sebagai kapasitas berpikir dan bersikap dewasa. Ukurannya, mampu bertindak patut, pantas, atau layak dalam mengamalkan nilai-nilai masyarakat. Sekalipun seseorang berusia banyak, kalau bersikap tindak kurang layak dalam penilaian masyarakat, ia disebut belum nalar atau kurang nalar. 'Nalar 4.0' dipinjam dari kolom AM Lilik Agung (Kompas.com, 4/3/2019) yang bertutur tentang menjaga nalar tetap cerdas dan waras dengan menangkal hoaks memakai empat dimensi nalar. Keempat dimensi nalar tersebut, yakni berpikir kritis, kreatif, sistemik, dan bijak. Tahun 1990 pakar manajemen Peter M Senge kampanye perlunya berpikir kritis untuk menyikapi aneka perubahan. Ada dua hal utama dalam model ini, (a). Jangan melihat potret sebagian, lihatlah proses keseluruhan. (b). Jangan melihat sebab-akibat satu arah, lihatlah sebab-akibat antarbagian. Secara sederhana implementasi kritis ini, jika kita mendapat kabar, info, atau berita yang bombastis dan membuat pikiran berkerut, kita wajib untuk mengetahui dari mana sumbernya. Wajib mencari dan membandingkan dengan berita-berita lainnya. Kita memotret berita tersebut dari berbagai sudut sehingga memberi kesempatan kepada nalar untuk membuat kesimpulan berita ini benar atau bohong. Kedua berpikir kreatif. Pengertian kreativitas adalah proses penciptaan gagasan dan konsep. Ia berada pada level ide atau imajinasi (pikiran). Kreativitas merupakan induk dari inovasi karena inovasi itu proses perwujudan ide-ide kreatif sampai menghasilkan nilai tambah.***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar