SETIAP orang yang disangka, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Demikian bunyi asas praduga tak bersalah dalam UU Nomor 14/1970 tentang Pokok Kehakiman yang diperbarui terakhir jadi UU Nomor 48/2009 Pasal 8 Ayat (1). Asas tersebut ditegaskan lagi dalam UU Nomor 8/1981 tentang KUHAP pada Penjelasan Umum Angka 3. Itu diperkuat lagi dalam UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 18 Ayat (1). Demikian pentingnya asas praduga tak bersalah sebagai salah satu prinsip penting dalam implementasi Indonesia sebagai negara hukum, hingga diatur dalam tiga UU. Karena itu, wartawan (pers) memberi perhatian yang besar terhadap asas tersebut dalam tugasnya. Itu karena dalam melaksanakan tugasnya wartawan taat pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ), yang pada Pasal 3 berbunyi: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Ketaatan wartawan terhadap asas tersebut dilakukan dengan senantiasa mencantumkan kata diduga atau disinyalir pada tindakan subjek peristiwa beritanya. Padahal semua hal dalam peristiwa itu sudah serbanyata dan konkret. Bahkan wartawan juga telah melengkapinya dengan cek dan recheck, verifikasi dan konfirmasi, untuk menjaga kelengkapan dan keseimbangan beritanya. Hal itu dilakukan juga untuk mengatasi bias pada “bahan mentah” beritanya yang diperoleh wartawan dari lembaga lain yang terkadang kurang memperhatikan asas praduga tak bersalah. Dengan bumbu yang kuat akidah etika jurnalisme dalam pengolahan beritanya oleh wartawan, kurangnya asas praduga tak bersalah pada “bahan mentah” telah diatasi. Bahkan, bumbu yang diberikan wartawan dalam pengolahan beritanya terkait asas praduga tak bersalah itu cenderung berlebihan. Sebab sesuai dengan bahasa UU-nya, setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut dan seterusnya, wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada vonis hakim. Jadi, untuk menaati asas praduga tak bersalah wartawan cukup membuat berita apa adanya sesuai dengan fakta peristiwanya. Embel-embel diduga, disinyalir atas orang yang disangka, ditahan, dituntut itu tak perlu, karena UU sudah menegaskan mereka wajib dianggap tak bersalah sebelum vonis hakim, sekalipun wartawan tidak menulis beritanya dengan diduga atau disinyalir.***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar