Artikel Halaman 8, Kamis 26-09-19
Berubah, Paradigma buat Koruptor!
H. Bambang Eka Wijaya
ARAH kebijakan pemberantasan korupsi ditegaskan dalam Tap MPR Nomor VIII/2001, Pasal 2 berbunyi: "Melakukan tindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi di masa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya."
Hukum koruptor yang seberat-beratnya, itulah paradigma reformasi dalam pemberantasan korupsi. Tapi kini, oleh legislator 'zaman now' paradigma itu telah berubah, cenderung dibalik arahnya secara total, hukuman bagi koruptor dibuat menjadi seringan mungkin.
Perubahan paradigma itu hakikatnya mungkin seperti dikemukakan anggota Panitia Kerja (Panja) RKUHP dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil kepada Kompas.com (31/8/2019). Yakni, seharusnya upaya pemberantasan korupsi fokus pada penyelamatan uang negara ketimbang memperberat pidana penjara terhadap pelaku.
"Ke depan memang kita harus mengubah cara pandang bahwa korupsi ini kejahatan keuangan, pidana kurungan badan bukan yang utama, melainkan bagaimana uang yang sudah dirampok dikembalikan ke negara," ujar Nasir.
Paradigma baru pemberantasan korupsi yang meringankan hukuman kurungan badan terhadap koruptor itu tercermin pada pasal-pasal kasus korupsi dalam RKUHP. Sekalipun, jenis tindak korupsinya diadopsi dari UU Tipikor Nomor 20/2001.
Salah satu contohnya, Pasal 604 RKUHP yang mengadopsi Pasal 2 UU Tipikor terkait perbuatan memperkaya diri, dari ancaman penjara minimum empat tahun diperingan menjadi dua tahun. Sanksi denda minimum juga diperingan, dari Rp200 juta menjadi Rp10 juta. Padahal nanti, kalau KUHP baru berlaku, UU Tipikor otomatis tak berlaku lagi.
Peringanan terhadap koruptor juga digarap DPR yang sama dalam revisi UU Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan. DPR dan pemerintah sepakat (Kompas.com, 18/9/2019) pembebasan bersyarat terpidana korupsi tak perlu lagi rekomendasi dari KPK atau menjadi justice collaborator. Pengecualian hanya pada vonis hakim, jika jelas disebutkan tidak diberi pembebasan bersyarat.
Perubahan paradigma terhadap koruptor itu, di mata Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, mencerminkan seolah negara lebih berpihak kepada koruptor.
"Saya yakin kalau paket undang-undang ini semua jebol, tentu saja rezim berubah bentuk, menjadi lebih pro-koruptor dan tidak memihak publik," tegas Feri. Perubahan dalam UU itu bisa memperbanyak tindak pidana korupsi. ***
0 komentar:
Posting Komentar